breaking news
Home » Risiko Tersembunyi pada Pembangkit Energi Panas Bumi Rantau Dedap

Risiko Tersembunyi pada Pembangkit Energi Panas Bumi Rantau Dedap

Bagikan :

PLTP Rantau Dadap. Foto: Supreme Energy. Sumber: Mongabay.co.id

Nusantara1News – 30 January – Mongabay Sungai Endikat mengalir deras di antara tebing dan bukit yang dikelilingi hutan lebat di Desa Singapura, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Air sungai mengalir dengan cepat, menghantam bebatuan dan menghasilkan suara gemuruh.

Memasuki musim hujan di bulan Desember, biasanya air sungai meningkat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Antoni, warga Desa Singapura, memperhatikan adanya penurunan tingkat ketinggian air. Meski begitu, air bisa tiba-tiba naik kembali jika terjadi hujan deras di hulu. Aliran sungai seringkali membawa air yang berwarna kecoklatan dan bercampur lumpur dengan batang kayu yang terhanyut.

Baca Juga : Menteri UMKM dan Menko PM Dorong Digitalisasi UMKM Lewat Shopee Live

“Pada musim hujan, biasanya air sungai harusnya setinggi batu itu,” kata Antoni, menunjuk batu besar yang tertutup lumut sebagai tanda bekas aliran air.

Kepala Desa Singapura, Archito, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap penurunan debit air sungai. Sebab, selama puluhan tahun, Sungai Endikat menjadi sumber utama air bagi ribuan penduduk di Kabupaten Lahat, terutama di daerah hilir. Ratusan hektar sawah di Kota Agung, Lahat Selatan, dan Pulau Pinang bergantung pada pasokan air dari sungai ini.

“Jika sungai ini kering, banyak petani yang akan gagal panen,” tambahnya.

Kota Agung sendiri dikenal sebagai lumbung pangan di Kabupaten Lahat. Berdasarkan data BPS Sumatera Selatan 2023, produksi padi di Lahat tercatat mencapai 74.549,71 ton, menjadikannya sebagai penghasil padi terbesar ketujuh di provinsi tersebut.

Archito menduga, penurunan debit air Sungai Endikat mungkin berhubungan dengan deforestasi hutan lindung Bukit Jambul Gunung Patah untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang dikelola oleh PT Supreme Energy Rantau Dedap (SERD) sejak tahun 2013.

Sungai Endikat bermula dari hulu di Gunung Patah, mengalir melewati beberapa wilayah seperti Muara Enim, Lahat, dan Kota Pagar Alam sebelum akhirnya bertemu dengan Sungai Lematang. Archito menambahkan, kerusakan hutan di hulu berpotensi berdampak pada penurunan debit air di wilayah hilir.

Wilayah Bukit Barisan di Sumatera Selatan, termasuk hutan lindung Bukit Jambul Gunung Patah, menyimpan potensi energi panas bumi sebesar 918 Megawatt (MW), sekitar 3,8% dari total cadangan panas bumi Indonesia yang mencapai 23,7 GigaWatt (GW). Meskipun cadangan tersebut besar, pemanfaatan energi panas bumi di Indonesia baru mencapai 11%.

SERD telah mengoperasikan pembangkit geothermal berkapasitas 91,2 MW dengan rencana peningkatan menjadi 220 MW. Pembangkit ini telah mendapat izin untuk kapasitas 2 x 110 MW di Rantau Dedap.

SERD adalah perusahaan patungan antara PT Supreme Energy, ENGIE dari Prancis, Marubeni Corporation, dan Tohoku Electric Power Co., Inc. dari Jepang. Total investasi untuk proyek geothermal ini mencapai US$700 juta.

Pembangkit ini mendapat dukungan dana dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC), Asian Development Bank (ADB), serta beberapa bank komersial internasional termasuk Mizuho Bank Ltd dan Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ.

Dokumen resmi yang diakses Mongabay pada 18 Desember 2024 menunjukkan bahwa saham SERD dimiliki oleh sejumlah perusahaan besar, dengan Impex Geothermal Ltd memegang 36,6% saham, sementara Merit Power Holdings B.V. memiliki 63,4%. Selain itu, 44,5% saham klasifikasi A dipegang oleh PT Energia Prima Nusantara, anak perusahaan PT United Tractors Tbk, dan 55,5% saham lainnya dikuasai PT Supreme Energy Sriwijaya.

Pada 15 Maret 2024, Energia Prima Nusantara (EPN) mengakuisisi SERD dengan total transaksi Rp1,25 triliun, mengakuisisi saham SERD dari Merit dan INPEX, serta 49,6% saham Supreme Energy Sriwijaya.

Baca Juga : Menko Pangan Zulhas Tegaskan Larangan Impor untuk Dukung Swasembada Pangan

Proyek pembangkit listrik panas bumi Rantau Dedap ini merupakan bagian dari program percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap II yang dimulai pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pembangkit ini mulai beroperasi pada 26 Desember 2021 dan kini menyuplai kebutuhan listrik bagi 490.000 rumah tangga, serta mengklaim dapat mengurangi emisi karbon hingga 1,1 juta ton per tahun.

Gempa bumi dan perlu air banyak

Penelitian yang dilakukan oleh Walhi Jawa Tengah bersama Center of Economic and Law Studies (CELIOS) pada 2024 mengungkapkan bahwa pembangunan pembangkit listrik panas bumi berisiko menimbulkan dampak lingkungan yang merugikan, termasuk gempa bumi, longsor, kekeringan, pencemaran tanah, gas beracun, hilangnya keanekaragaman hayati, hingga korban jiwa.

Dampak tersebut muncul akibat pengeboran dalam kedalaman 2.000 hingga 3.000 meter untuk mengeksplorasi sumber panas yang ada di dalam bumi. Setelah panas bumi diekstraksi dari sumur produksi, fluida panas tersebut mengalir melalui pipa untuk menggerakkan turbin dan menghasilkan listrik.

Untuk mengatasi terbatasnya pasokan panas bumi, dibuat sumur injeksi yang bertujuan untuk mengembalikan fluida ke dalam perut bumi. Proses ini sering kali dijadikan alasan untuk mengklaim bahwa energi panas bumi merupakan energi terbarukan.

Namun, ambisi untuk meningkatkan produksi panas bumi mendorong penggunaan teknik hydraulic fracturing (fracking) yang bertujuan untuk membuat retakan pada reservoir guna mempermudah aliran air melalui ruang pori batuan. Teknik ini berisiko memicu gempa bumi akibat penurunan daya ikat batuan.

Beberapa studi menunjukkan adanya kaitan antara aktivitas eksplorasi panas bumi dan terjadinya gempa bumi. Pada 2014, peneliti geologi Bosman Batubara dari Universitas Utrecht menulis mengenai dampak negatif energi geothermal terhadap lingkungan, menanggapi protes warga yang menentang proyek geothermal di Indonesia. Dalam tulisannya, Bosman menjelaskan bahwa injeksi fluida ke dalam batuan dapat menekan reservoir dan menyebabkan pergerakan batuan yang memicu gempa.

Gempa bumi yang dipicu oleh fracking biasanya memiliki magnitudo di bawah 5 Skala Richter, seperti yang terjadi di Basel, Swiss pada 2006. Kajian BNPB pada 2021 juga menunjukkan bahwa risiko gempa bumi di wilayah Kabupaten Muara Enim, Lahat, dan Kota Pagar Alam sangat tinggi, dengan luas daerah berisiko mencapai 1,33 juta hektar.

Selain itu, ada juga ancaman lain berupa pencemaran air, karena larutan hidrothermal yang digunakan dalam proses ini mengandung kontaminan berbahaya seperti arsenik, antimon, dan boron. Arsenik, yang dapat menyebabkan kanker, menjadi salah satu ancaman besar.

Bosman juga menyoroti dampak ekstraksi gas panas bumi yang dapat menyebabkan amblesan, seperti yang terjadi di Selandia Baru pada 1997, yang berpotensi menyebabkan longsor di beberapa tempat pada musim hujan.

Pembangkit listrik panas bumi juga sangat membutuhkan banyak air. Berdasarkan laporan Walhi yang dirilis pada 2024 berjudul “Geothermal di Indonesia, Dilema Potensi dan Eksploitasi atas Nama Transisi Energi,” pembangkit panas bumi membutuhkan setidaknya 40 liter air per detik, atau 6.500 hingga 15.000 liter air untuk menghasilkan 1 megawatt listrik (MWe).

Jurnal yang diterbitkan pada 2023 berjudul “Analisis Dampak Lingkungan dan Life Cycle Cost Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi” juga mencatat tingginya kebutuhan air yang diperlukan oleh pembangkit geothermal, bahkan lebih besar dibandingkan pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Untuk pengeboran sumur sedalam 2.000 meter, diperlukan sekitar 8.000 hingga 55.000 meter kubik air, yang setara dengan 55 juta liter atau kebutuhan air untuk 1.000 orang.

Sejak Februari 2014, SERD telah memulai pengeboran sumur pertama. Pada 2015, ada enam sumur yang selesai dibor dengan kedalaman antara 1.500 hingga 3.000 meter, dan kini diperkirakan ada antara 12 hingga 16 sumur yang ada, dengan potensi mencapai 48 sumur sesuai izin yang diberikan kepada perusahaan.

Sejak proyek tersebut berjalan, warga Talang Kubangan di Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagar Alam, mengeluhkan getaran mirip gempa bumi yang sering terjadi. Selain itu, beberapa sumur milik warga juga mengering. Pendi, seorang warga, mengungkapkan, “Banyak sumur yang kering, dan ada getaran-getaran.” Namun, tidak ada warga yang berani mengajukan protes terhadap masalah ini.

Sungai terdampak?

Dengan alasan untuk mendukung proyek energi bersih, pemerintah memberikan izin kepada SERD untuk mengelola ratusan hektar lahan, termasuk hutan lindung Bukit Jambul Gunung Patah.

SERD beroperasi pada ketinggian antara 1.000 hingga 2.600 meter di atas permukaan laut (mdpl). Berdasarkan analisis dampak lingkungan (Amdal) yang dilakukan oleh perusahaan, area yang digunakan untuk pengembangan panas bumi mencakup 35.307 hektar, yang meliputi wilayah Kota Pagar Alam, Lahat, dan Muara Enim.

Total luas lahan yang digunakan untuk lokasi pembangkit, sumur (well pad), jalur pipa, dan jalan mencapai 124,5 hektar, dengan 115 hektar di antaranya merupakan kawasan hutan lindung.

“Kami berjuang keras untuk menjaga hutan dan sumber air, tetapi perusahaan (SERD) malah diberikan izin untuk merusak hutan. Jika masyarakat kami membuka hutan untuk bertahan hidup, pasti langsung ditangkap,” ujar Archito, Kepala Desa Singapura.

Kerusakan hutan di bagian hulu dikhawatirkan dapat memengaruhi operasi pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) Endikat dan PLTMH Green Lahat, yang keduanya bergantung pada debit air Sungai Endikat. Kapasitas gabungan kedua pembangkit tersebut mencapai hampir 18 MW, dengan Green Lahat telah menyuplai listrik untuk wilayah Lahat dan Kota Pagar Alam selama 9 tahun.

Victor, juru bicara PLTMH Endikat, mengakui adanya penurunan debit air di Sungai Endikat sejak pembangkit mulai beroperasi pada 2022. Namun, ia menolak memberikan data terkait debit air tersebut. “Perusahaan belum berani memberikan data, kecuali jika diminta oleh Dinas Lingkungan Hidup,” ujarnya melalui pesan WhatsApp.

Boni Bangun, Koordinator Perubahan Iklim dan Transisi Energi dari Hutan Kita Institut (HaKI), menegaskan bahwa pembukaan hutan oleh SERD dapat mengganggu sumber air sungai karena berkurangnya area resapan air.

Tiga sungai besar yang berada di area operasi pembangkit panas bumi SERD, yaitu Sungai Cawang, Sungai Asahan, dan Sungai Endikat, semuanya mengalir ke Sungai Lematang. Beberapa warga juga membuka lahan di sekitar lokasi pembangkit untuk perkebunan kopi, memanfaatkan akses jalan menuju pembangkit dan lokasi pengeboran sumur.

“Jika hutan gundul, risikonya adalah banjir dan longsor. Pemerintah harus mempertimbangkan dampak ini,” kata Boni.

Banjir bandang yang terjadi di Sumatera Selatan pada awal 2024, menurutnya, merupakan indikasi kerusakan hutan di bagian hulu.

“Sungai Endikat dan Lematang semakin dangkal akibat sedimentasi. Sekarang, kedua sungai ini lebih mudah meluap,” tambahnya.

Darul, seorang pegiat alam dari Desa Bintuhan, Kota Agung, juga menyatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, wilayah Kecamatan Kota Agung, Mulak, Mulak Ulu, Pagar Gunung, dan Lahat sering dilanda banjir.

Bambang Irawan, peneliti dan pengajar ilmu kehutanan di Universitas Jambi, menjelaskan hubungan antara pembabatan hutan dan berkurangnya debit air sungai. Menurutnya, keberadaan pohon di hutan memiliki peran penting dalam mengurangi kecepatan air hujan sehingga tidak merusak partikel tanah. Tanah yang terfragmentasi akan memiliki partikel lebih kecil, yang dapat menyumbat pori-pori tanah. Hal ini menyebabkan penurunan daya serap tanah terhadap air.

“Akibatnya, kita menghadapi dua hal: pertama, erosi tanah dan banjir saat musim hujan, dan kedua, berkurangnya jumlah air yang diserap tanah sehingga mengarah pada kekeringan di musim kemarau,” ujarnya.

Akar pohon juga sangat penting dalam meningkatkan kapasitas tanah untuk menyimpan air. Perakaran pohon menambah jumlah pori mikro di tanah yang berfungsi menyimpan air. Ekosistem hutan yang kaya bahan organik menjadi sumber makanan bagi mikroorganisme yang membantu memperbaiki struktur tanah, menjadikannya lebih gembur dan mampu menyimpan lebih banyak air.

“Penelitian menunjukkan bahwa bahan organik dapat menyimpan air hingga empat kali lipat dari berat biomassanya,” tambah Bambang.

Menurut Bambang, ekosistem hutan di bagian hulu sangat vital untuk menyimpan air saat musim hujan dan melepaskannya secara perlahan pada musim kering melalui aliran sungai dan anak sungainya.

Pada 8 Desember 2024, Mongabay mencoba menghubungi Jhanson Parliatan, bagian hubungan eksternal dari PLTP Supreme Energy Rantau Dedap, namun tidak mendapat respons terhadap telepon maupun pesan wawancara. Hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan.

Mongabay juga melakukan konfirmasi dengan Ardiansyah, Kepala Bidang Energi Dinas ESDM Sumatera Selatan, pada 10 Desember, terkait tuduhan bahwa pembangkit listrik geothermal SERD menyebabkan penurunan debit air Sungai Endikat. Ardiansyah membantah tuduhan tersebut, menyatakan bahwa penurunan debit air tidak ada kaitannya dengan pembangkit listrik panas bumi.

“Geothermal itu tidak seperti pembangkit batubara yang membuka hutan. Supreme hanya mengebor tanah untuk mendapatkan magma, bukan membuka lahan seperti tambang batubara,” ujar Ardiansyah.

Menurutnya, penurunan debit air di Sungai Endikat disebabkan oleh pembendungan untuk menggerakkan pembangkit PLTMH Green Lahat dan PLTMH Endikat.

Eniya Listiani Dewi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi KESDM, yang dihubungi oleh Mongabay, juga menegaskan bahwa aktivitas pembangkit geothermal SERD tidak mengganggu sumber air dan tidak menimbulkan dampak lingkungan.

Dengan sistem closed-loop, air panas bumi yang digunakan untuk pembangkit listrik diinjeksikan kembali ke dalam reservoir bumi, sehingga tidak mempengaruhi sumber air permukaan.

“Air tanah hanya digunakan untuk keperluan domestik operasional karyawan SERD dengan kebutuhan yang relatif kecil, sekitar 558 hingga 1.842 meter kubik per hari,” kata Eniya melalui pesan WhatsApp pada 25 Desember 2024.

Baca Juga : Menko Pangan Zulhas Tegaskan Larangan Impor untuk Dukung Swasembada Pangan

Eniya menjelaskan bahwa SERD telah membuka hutan seluas 174,37 hektar, namun area yang tidak digunakan telah direhabilitasi, termasuk daerah aliran sungai yang telah dipulihkan.

Dia menambahkan bahwa dampak lingkungan dari pembangkit geothermal SERD sudah termitigasi melalui pemantauan lingkungan secara rutin dan inspeksi berkala oleh Inspektur Panas Bumi.

“Pemantauan kualitas air sungai dilakukan setiap enam bulan sekali. KESDM juga meminta agar industri memperhatikan ketentuan serta kearifan lokal,” ujarnya.

Hingga saat ini, belum ada penelitian khusus yang menghubungkan pembukaan hutan lindung untuk proyek pembangkit listrik panas bumi SERD dengan penurunan debit air Sungai Endikat.

Editor : Nusantara1News


Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *