
Nusantara1News – Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan kini telah masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) 2025, dengan inisiatif dari DPR. Berbagai kelompok masyarakat sipil mengingatkan pentingnya revisi yang tidak hanya asal-asalan, tetapi harus memprioritaskan kepentingan masyarakat adat dan lokal, serta menjaga kelestarian lingkungan.
Seringkali, penetapan kawasan hutan negara dilakukan tanpa melibatkan masyarakat adat. Hak-hak tradisional dan kearifan lokal mereka sering terabaikan, bahkan terkadang berujung pada kriminalisasi saat mereka menjalankan praktik adat yang berfokus pada pengelolaan hutan.
Baca Juga : APBD 2025 Riau Alami Defisit Rp 1,3 Triliun, DPRD Minta Banggar Tinjau Ulang
Een Suryani, seorang perempuan adat dari Kasepuhan Karang, Banten, mengungkapkan bahwa UU Kehutanan berdampak pada akses pendidikan kelompoknya. Di wilayah mereka, yang sebagian besar berada dalam kawasan hutan, hanya terdapat sekolah dasar (SD). Untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, seperti SMP dan SMA, mereka harus menempuh jarak yang sangat jauh.
Akibatnya, sebagian besar perempuan adat hanya menyelesaikan pendidikan di tingkat SD, sementara banyak laki-laki yang melanjutkan pendidikan mereka.
Andiko Sutan Mancahyo, anggota Perkumpulan HuMa, menjelaskan bahwa pengalaman Een mencerminkan temuan yang didapat selama pendampingan di desa-desa dalam kawasan hutan. Mereka kesulitan untuk membangun infrastruktur, namun pemerintah daerah tidak memberikan solusi yang memadai.
Menurut Andiko, politik yang terkandung dalam UU Kehutanan menyebabkan pengakuan terhadap masyarakat adat terbatas hanya pada level subsistem. Hal ini mengakibatkan negara masih membatasi pengelolaan hutan oleh masyarakat adat, meskipun telah ada pengakuan terhadap wilayah adat mereka.
Pengelolaan hutan di Indonesia telah mengalami perubahan yang signifikan, dengan banyak desa yang berkembang di kawasan hutan, serta meningkatnya ketergantungan manusia terhadap hutan.
“Politik kehutanan telah berkembang pesat, seiring dengan perkembangan ekonomi sektor kehutanan. Terlebih lagi, sejumlah besar kawasan hutan di Indonesia kini dihuni oleh masyarakat adat,” ujar seorang sumber.
Namun, selama ini negara sering kali memandang hutan sebagai aset milik mereka dan mengabaikan keberadaan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan atau yang memiliki ketergantungan ekonomi terhadapnya.
Hal ini terlihat dari struktur penguasaan kawasan hutan. Menurut data dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), sekitar 30 juta hektar wilayah adat telah terdaftar, namun hanya 265 ribu hektar yang ditetapkan sebagai hutan adat oleh pemerintah.
Sementara itu, perlakuan terhadap korporasi sangat berbeda. Walhi mencatat, sekitar 33 juta hektar kawasan hutan telah diberikan izin kehutanan. Selain itu, sekitar 4,5 juta hektar konsesi tambang berada di atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan, dan sekitar 7,3 juta hektar hutan telah beralih fungsi, dengan 70% di antaranya untuk perkebunan sawit.
Erwin Dwi Kristianto, anggota Perkumpulan HuMa, menyatakan bahwa pengaturan mengenai hak pengelolaan hutan dalam Undang-Undang Kehutanan belum sejalan dengan ketentuan mengenai penguasaan tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960.
Dalam UUPA, hak penguasaan tanah terbagi menjadi tiga kategori, yaitu tanah yang dikuasai negara, tanah yang dibebani hak tertentu, dan tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat atau tanah ulayat. Erwin menjelaskan bahwa kategori ini mempengaruhi siapa yang berhak mengelola hutan serta bagaimana model pemanfaatan hutan diterapkan.
Saat ini, sering terjadi tumpang tindih antara kawasan hutan negara, hak-hak masyarakat, dan penggunaan lain di kawasan hutan. Hal ini sering menimbulkan konflik antara negara, masyarakat, dan pihak yang memegang izin, dengan masyarakat sering kali menjadi korban.
Dengan adanya revisi UU Kehutanan, Erwin berharap ruang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan akan semakin luas, sehingga pengelolaan hutan bisa lebih berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi semua pihak.
“Harapannya, revisi ini dapat memberikan kejelasan status kawasan hutan, mengurangi ketidakpastian hukum, dan mencegah sengketa yang berpotensi memicu konflik agraria,” katanya.
Anggi Putra Prayoga, Manajer Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI), menyatakan bahwa Undang-Undang Kehutanan belum efektif dalam mengatasi perusakan hutan dan melindungi sumber daya alam. Menurut analisis FWI, sekitar 30% kerusakan hutan terjadi di kawasan lindung dan konservasi, sementara 50% lainnya disebabkan oleh kebijakan pemerintah.
“Hutan Indonesia saat ini dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Konsep perlindungan hutan dalam UU Kehutanan tidak mampu mempertahankan kelestarian hutan di Indonesia,” ungkap Anggi.
Tren deforestasi di Indonesia pada periode 2021-2023 menunjukkan bahwa kerusakan hutan terus terjadi di berbagai pulau. FWI mencatat bahwa sekitar 689.000 hektar hutan mengalami kerusakan pada 2022-2023, dengan rata-rata kerusakan terbesar terjadi pada periode 2017-2021 yang mencapai 2,5 juta hektar.
Anggi menjelaskan bahwa deforestasi semakin mengarah ke Pulau Papua, dengan sekitar 500.000 hektar hutan hilang pada periode 2022-2023.
Kerusakan ini, menurutnya, disebabkan oleh Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang mempermudah proses perizinan.
“Pemerintah memandang hutan sebagai komoditas yang harus dieksploitasi secara besar-besaran. Inilah penyebab utama terus terjadinya deforestasi, apalagi dengan adanya proyek hilirisasi yang diterapkan pemerintah,” ujarnya.
Ironisnya, Anggi menambahkan, lebih dari 50% hutan alam yang tersisa berisiko rusak karena berbagai proyek yang diklaim ramah lingkungan. Rencana tersebut berisiko menimbulkan dampak buruk, seperti bencana hidrometeorologi, dan semakin memperburuk kehidupan masyarakat adat yang bergantung pada hutan.
Selain itu, kata Anggi, pemerintah berencana untuk menerbitkan izin baru seluas 13,5 juta hektar, sekitar 2,5 juta hektar di antaranya untuk hutan tanaman energi (HTE). Pemerintah juga merencanakan penggunaan 20 juta hektar hutan untuk keperluan pangan dan energi.
Anggi menilai bahwa UU Kehutanan tidak mengakui manusia sebagai bagian dari ekosistem. Hal ini terlihat dari klaim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyatakan bahwa 106 juta hektar kawasan hutan di Indonesia adalah milik negara.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh FWI, penetapan kawasan hutan sering kali tidak diakui oleh masyarakat yang tinggal dan bergantung pada sumber daya alam di kawasan tersebut.
“Selama proses penataan batas, masyarakat yang sudah lama tinggal di kawasan hutan justru terpinggirkan, karena pemerintah menganggap wilayah tersebut sebagai tanah kosong,” ujar seorang sumber.
Menurutnya, UU Kehutanan juga belum cukup mendukung keberlanjutan ekonomi bagi masyarakat yang tergantung pada hutan. Pengelolaan hutan dalam UU ini lebih fokus pada konservasi, tanpa memperhatikan hak dan kebutuhan masyarakat yang bergantung pada hutan untuk kelangsungan hidup mereka.
Anggi mengatakan bahwa revisi UU Kehutanan diperlukan untuk memperkuat upaya pemberantasan praktik ilegal serta menjaga kelestarian sumber daya alam. Revisi tersebut harus mencakup pengakuan yang lebih jelas terhadap hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas tanah ulayat, dan memberikan ruang bagi partisipasi mereka dalam pengelolaan hutan.
Selain itu, perubahan UU Kehutanan harus mengedepankan pengelolaan sumber daya alam yang lebih efisien dan transparan. Selama ini, pengelolaan hutan kerap kali diwarnai oleh praktik korupsi dan penyalahgunaan izin. Anggi berharap, revisi UU ini dapat lebih responsif terhadap tantangan global, seperti perubahan iklim.
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, menyatakan keraguan terhadap revisi UU Kehutanan. Dia menilai kebijakan transisi energi yang terus mengandalkan keberadaan hutan berpotensi menjadikan revisi ini lebih menguntungkan korporasi daripada untuk perlindungan hutan yang sebenarnya.
Uli juga mengkritik pernyataan kontroversial Presiden Prabowo yang menyatakan bahwa sawit tidak menyebabkan deforestasi karena memiliki “daun.” Menurut Uli, revisi UU Kehutanan bisa sangat jauh dari tujuan untuk melindungi hutan dan memulihkan hak-hak masyarakat adat.
“Agak sulit untuk meyakini bahwa revisi UU Kehutanan ini benar-benar bertujuan untuk melindungi hutan dan mengembalikan hak-hak masyarakat adat,” kata Uli.
Selain itu, Uli menyoroti penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan yang juga kontroversial. Dalam peraturan tersebut, Kementerian Pertahanan ditunjuk sebagai Ketua Pengarah Satgas Penertiban Kawasan Hutan, dengan sebagian besar anggotanya berasal dari TNI dan Polri.
Perpres ini dinilai akan meningkatkan militerisasi dan mengabaikan konflik tenurial yang sudah berlangsung lama. Peraturan ini seolah memandang masyarakat yang tinggal di kawasan hutan sebagai pihak yang setara dengan konflik yang disebabkan oleh sektor sawit dan tambang ilegal.
Menurut Uli, peraturan ini bisa dijadikan alat bagi pemerintah untuk menertibkan masyarakat di kawasan hutan demi mendukung proyek-proyek strategis nasional seperti pangan dan energi. Negara, menurutnya, lebih memilih menertibkan masyarakat ketimbang mengatur korporasi.
Di sisi lain, Valdi Liropia, Tenaga Ahli Komisi IV DPR, menjelaskan bahwa revisi UU Kehutanan saat ini masih dalam tahap penyusunan naskah akademik. Mereka terbuka untuk menerima masukan dari berbagai lembaga dan organisasi masyarakat sipil.
Baca Juga : KPU Riau Tetapkan Lima Panelis Debat Pilgub 2024, Tegaskan Netralitas
Valdi menyadari bahwa banyak pihak yang terdampak oleh sektor kehutanan, terutama masyarakat yang tinggal di kawasan hutan yang selama ini kurang diperhatikan dalam UU Kehutanan.
“Karena itu, revisi UU Kehutanan sangat diperlukan,” ungkapnya.
Dia menegaskan bahwa revisi ini bertujuan untuk memanusiakan manusia, mengakui manusia sebagai bagian dari ekosistem hutan. Keterlibatan organisasi masyarakat sipil dalam proses revisi sangat penting. Organisasi masyarakat adat, menurut Valdi, bisa menyurati DPR untuk audiensi atau mengusulkan rapat dengar pendapat umum untuk membahas isu revisi ini.