breaking news
Home » Rekomendasi Asia Land Forum untuk Menyelesaikan Masalah Agraria

Rekomendasi Asia Land Forum untuk Menyelesaikan Masalah Agraria

Bagikan :

Jumpa pers Asia Land Forum 2025 di Jakarta. Foto: KPA ( sumber Mongabay.co.id )

Nusantara1News – Forum Pertanahan Asia (Asia Land Forum/ALF) 2025 yang berlangsung pekan lalu menghasilkan sejumlah rekomendasi untuk memperbaiki tata kelola pertanahan. Tujuan utama dari rekomendasi ini adalah menciptakan keadilan dalam kepemilikan tanah serta mengatasi konflik agraria yang berdampak pada petani, nelayan, perempuan, masyarakat adat, dan kelompok rentan lainnya. Rabu (26/2) seperti di kutip dari Mongabay.co.id.

Baca Juga : Menteri Pendidikan Memperkenalkan 3 pilihan Libur Sekolah di Bulan Puasa

Alice Morris dari Working Group Women and Land Ownership (WGWLO) India menyoroti bahwa industrialisasi dan pembangunan kerap menggusur masyarakat dari tanah mereka. Banyak yang berusaha mempertahankan haknya justru menjadi korban pengusiran, bahkan kehilangan nyawa. Ia mendesak pemerintah di Asia untuk lebih melindungi hak kelompok rentan dan segera menyelesaikan konflik agraria.

Menurutnya, pelaksanaan reforma agraria di banyak negara masih belum optimal. Di India, meskipun ada amandemen Undang-Undang Warisan yang menjamin hak tanah bagi perempuan, kepemilikan tanah masih didominasi oleh laki-laki. Akibatnya, banyak perempuan hanya menjadi pekerja di lahan orang lain, padahal jika perempuan memiliki akses atas tanah, hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan perlindungan lingkungan.

Dalam konteks transisi energi, Alice juga menekankan pentingnya menghormati hak masyarakat lokal, memastikan keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan, serta memberikan manfaat nyata dari proyek pembangunan yang dijalankan.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, menegaskan bahwa negara harus berperan aktif dalam menjalankan reforma agraria tanpa menyerahkannya sepenuhnya pada mekanisme pasar. Delegasi ALF 2025 juga menekankan perlunya penegakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar hak asasi manusia dan pentingnya prinsip FPIC (free, prior, and informed consent) dalam proyek pembangunan di desa.

Dewi menyoroti bahwa keengganan negara untuk menerapkan reforma agraria tidak hanya memicu konflik, tetapi juga melemahkan regenerasi petani dan menurunkan kepercayaan diri komunitas nelayan. Oleh karena itu, dukungan terhadap sektor pertanian, termasuk penyediaan teknologi, pendidikan, serta infrastruktur, harus disertai dengan redistribusi tanah yang adil.

Di tingkat regional, solidaritas terhadap masyarakat Myanmar yang terdampak kudeta militer 2021 menjadi salah satu isu utama yang diangkat dalam forum ini. Petani dan masyarakat sipil di Myanmar mengalami represi, kriminalisasi, dan ancaman perampasan tanah. Delegasi ALF 2025 menyuarakan dukungan terhadap mereka dalam upaya memperjuangkan hak atas tanah.

Hasil diskusi ALF 2025 akan dibawa ke Global Land Forum di Kolombia pada Juni mendatang. Forum ini akan menjadi wadah penting untuk menyampaikan rekomendasi kepada perwakilan pemerintah, donor, serta mitra strategis lainnya. Salah satu poin utama yang akan didorong adalah pembebasan aktivis HAM yang dipenjara akibat membela hak atas tanah.

Tindak Lanjut di Indonesia

Di Indonesia, ALF 2025 turut menghasilkan kesepakatan bersama antara organisasi masyarakat sipil dan pemerintah untuk mempercepat reforma agraria. Forum Agraria Indonesia (FAI) akan berperan dalam mengawal implementasi kesepakatan ini.

Wahyu Binara Fernandez, Direktur Eksekutif Rimbawan Muda Indonesia (RMI), menegaskan bahwa advokasi harus lebih strategis dan sistemik. Ia berharap upaya ini dapat mengoreksi kebijakan yang berpotensi memperluas kawasan konservasi tanpa mempertimbangkan hak masyarakat adat.

Sementara itu, Imam Hanafi dari Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) menekankan pentingnya tindak lanjut berupa strategi dan peta jalan reforma agraria. Menurutnya, kebijakan satu peta yang diusung pemerintah belum memberikan dampak nyata dalam menyelesaikan konflik agraria, karena hanya berfokus pada penyelarasan data antarlembaga. Ia menekankan perlunya pelibatan masyarakat dalam pengumpulan data serta menjadikan peta partisipatif masyarakat adat sebagai acuan kebijakan.

Baca Juga : Mensos Dorong Pendirian Sekolah Rakyat sebagai Wadah Cetak Agen Perubahan Bangsa

Dengan berbagai rekomendasi yang dihasilkan, ALF 2025 menjadi momentum penting untuk mendorong reforma agraria yang lebih adil dan berkelanjutan di Asia, termasuk di Indonesia.

Editor : Nusantara1News


Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *