breaking news
Home » Perjuangkan Kesetaraan Perempuan dengan Pengesahan RUU tentang Masyarakat Adat

Perjuangkan Kesetaraan Perempuan dengan Pengesahan RUU tentang Masyarakat Adat

Bagikan :

Para perempuan adat Desa Rendubutowe, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, tak ingin ruang hidup mereka hilang jadi bendungan. Foto: Moh Tamimi/Mongabay Indonesia. ( Sumber Mongabay.co.id )

Nusantara1News – Diskriminasi terhadap perempuan, termasuk dalam komunitas adat, masih menjadi persoalan serius. Hak dan perlindungan mereka seringkali diabaikan, terutama dalam kehidupan masyarakat adat yang masih didominasi budaya patriarki. Minimnya partisipasi perempuan dalam pengambilan kebijakan di tingkat adat memperparah kondisi ini. Oleh karena itu, Koalisi RUU Masyarakat Adat mendesak DPR dan pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat (RUU Masyarakat Adat). RUU ini diharapkan menjadi payung hukum yang menjamin kesetaraan hak perempuan adat serta melindungi budaya dan ruang hidup mereka.

Baca Juga : Integrasi Nilai Budaya dalam Pendidikan, Kemenbud Dorong Karakter Bangsa

Veni Siregar, Koordinator Koalisi RUU Masyarakat Adat, menjelaskan bahwa rancangan undang-undang ini telah dibahas sejak awal 2000-an dan masuk ke parlemen pada 2012. Namun, hingga kini, RUU tersebut masih belum disahkan. Padahal, pengesahannya akan memberikan dampak signifikan, terutama bagi perempuan adat, karena memastikan kesetaraan hak mereka. Perempuan adat memegang peran penting dalam menjaga kelestarian budaya, lingkungan, dan sumber daya alam, seperti meracik makanan, meramu obat-obatan, serta mengelola pertanian.

“Inilah urgensi pengesahan RUU Masyarakat Adat: untuk menjamin pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, khususnya perempuan adat. Alam tetap lestari dan berdaya karena peran perempuan adat,” ujar Veni dalam Talkshow bertajuk Perempuan Adat, Diskriminasi, dan Praktik Baik di Jakarta, Rabu (12/2/25).

Veni menambahkan, pengalaman perempuan adat dapat memperkaya substansi RUU ini, memastikan pengakuan hukum, serta menjamin partisipasi penuh perempuan dalam komunitas adat. Namun, perubahan drastis dalam tata kehidupan masyarakat adat, seperti perampasan lahan, alih fungsi hutan, dan pembangunan yang tidak berpihak, telah memperburuk kondisi perempuan adat. Mereka semakin rentan terhadap diskriminasi, kekerasan, dan marjinalisasi, termasuk dalam akses layanan dasar dan partisipasi publik.

“RUU Masyarakat Adat menjadi instrumen krusial untuk melindungi masyarakat adat, terutama perempuan, dari ketidakadilan struktural,” tegas Veni.

Peran Perempuan Adat dalam Menjaga Kelestarian Alam

Sabila, perempuan adat dari Desa Kaluppini, Sulawesi Selatan, menceritakan bahwa di desanya, budaya dan tradisi adat masih sangat kuat. Desa Kaluppini, yang terletak sekitar 250 kilometer dari Makassar, masih mempertahankan sistem kepemimpinan adat dengan pemangku adat sebagai pemegang otoritas tertinggi. Meskipun perempuan adat di Kaluppini tidak memiliki ruang partisipasi dalam kepemimpinan, mereka tetap mendapat perlakuan yang baik dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam pendidikan dan pekerjaan.

Masyarakat Kaluppini, yang mayoritas beragama Islam, masih mempertahankan tradisi nenek moyang, seperti ritual khusus dalam penanaman hingga panen untuk menjaga kedaulatan pangan. “Kami memanfaatkan hasil hutan tanpa merusaknya. Hutan adalah sumber kehidupan kami,” kata Sabila.

Di Desa Kaluppini, terdapat 13 hutan adat yang dianggap sakral dan tidak boleh diganggu. Masyarakat setempat menyadari betul bahwa hutan adalah sumber ekonomi dan kehidupan yang tak ternilai. “Dari hutan, kami bisa memenuhi kebutuhan hidup, seperti menjual madu seharga Rp300.000 per botol,” ujarnya.

Perempuan Adat sebagai Garda Terdepan Pelestarian Lingkungan

Agetha Lestari, Pengkampanye Kaoem Telapak, menyatakan bahwa perempuan adat memiliki peran strategis dalam menjaga lingkungan dan kehidupan adat. Misalnya, di Kalimantan Barat, perempuan adat terlibat aktif dalam pertanian, mulai dari penyemaian bibit hingga panen. Mereka juga menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan lingkungan, seperti kasus di Halmahera Selatan, di mana perempuan adat menolak ekspansi perusahaan yang merusak alam.

Baca Juga : Menteri PPPA Dorong pengurangan Tugas Sekolah Berbasis Gadget

Moch Yasir Sani, Program Manager Kemitraan, menekankan bahwa perempuan adat memegang peran sentral dalam menjaga kearifan lokal, termasuk pertanian dan konservasi hutan. Namun, peran mereka seringkali diabaikan dan menghadapi diskriminasi. “RUU Masyarakat Adat bukan hanya tentang pengakuan, tetapi juga perlindungan bagi kelompok rentan, termasuk perempuan, disabilitas, anak, dan penghayat kepercayaan. Kita harus memastikan hak-hak mereka terlindungi dalam sistem hukum nasional,” pungkasnya.

Dengan pengesahan RUU Masyarakat Adat, diharapkan perempuan adat dapat memperoleh pengakuan dan perlindungan yang setara, serta terus berperan aktif dalam menjaga kelestarian alam dan budaya mereka.

Editor : Nusantara1News


Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *