
Nusantara1News – Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan bahwa negosiasi Digital Economy Framework Agreement (DEFA) yang diperkenalkan menjelang KTT ASEAN ke-43 pada September 2023 belum dapat diimplementasikan tahun ini.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa jika DEFA diterapkan pada 2025, nilai ekonomi digital di kawasan ASEAN berpotensi mencapai US$ 2 triliun pada 2030. Namun, Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi dan Investasi, Edi Prio Pambudi, mengungkapkan bahwa masih terdapat beberapa negara ASEAN yang belum sepenuhnya siap.
Baca Juga : Bansos Lebih Efektif! Kemensos Integrasikan Data Perlindungan Sosial
Sebagai solusi, Indonesia mengusulkan agar DEFA diterapkan secara bertahap. Bagian dari perjanjian yang telah siap akan segera diimplementasikan tahun ini, sementara aspek yang masih membutuhkan penyesuaian akan difasilitasi dengan penguatan kapasitas.
Pendekatan ini bertujuan untuk membantu negara-negara ASEAN memahami bagian-bagian yang masih perlu disesuaikan sebelum implementasi penuh dilakukan.
“Jika kita menunggu semua negara siap secara bersamaan, maka proses ini tidak akan pernah selesai. Kita harus memanfaatkan momentum karena saat ini ASEAN menarik banyak minat dari pihak eksternal untuk bekerja sama,” ujar Edi dalam pernyataannya di Kantor Kemenko Perekonomian, Rabu (12/2) seperti di kutip dari CNBC Indonesia.
Edi juga menyoroti bahwa beberapa negara masih menghadapi pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat serta ketergantungan pada sektor komoditas, sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk beradaptasi dengan digitalisasi.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa perundingan dalam ASEAN berlangsung secara kekeluargaan, sehingga setiap tantangan dapat diselesaikan dengan musyawarah.
Baca Juga : Gotong royong TNI bersama warga perbatasan RI-Malaysia
Walaupun DEFA menghadapi tantangan dalam implementasinya, Edi memastikan bahwa prospek ekonomi digital ASEAN tetap kuat.
“Tujuan utama perjanjian ini adalah menyamakan pandangan terkait berbagai aspek, seperti sistem pembayaran menggunakan QR code. Dengan begitu, masing-masing negara dapat memahami cara memitigasi risiko dan menerapkan prosedur yang sesuai,” pungkasnya.