
Nusantara1News – Pemerintah diingatkan untuk tidak gegabah dalam menerapkan kebijakan efisiensi anggaran, karena dapat berdampak negatif terhadap kinerja kementerian dan lembaga negara.
Ekonom dan pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyoroti bahwa kebijakan ini telah menimbulkan berbagai kendala, terutama dalam pelayanan publik.
“Saat diterapkan di lapangan, kebijakan ini justru menyebabkan ketidakstabilan, terutama dalam sektor pelayanan masyarakat,” ujarnya saat dihubungi pada Minggu (16/2) seperti di kutip dari Metrotvnews.
Baca Juga : Presiden Prabowo Subianto Mengingatkan Menteri untuk Lebih Teliti dalam Kepemimpinan, Tindakan, dan Perilaku
Sebagai contoh, anggaran awal Kementerian Pekerjaan Umum (PU) untuk tahun 2025 yang semula ditetapkan sebesar Rp110,95 triliun mengalami pemangkasan signifikan hingga Rp81 triliun, sehingga tersisa Rp29,57 triliun. Namun, setelah rapat kerja dengan Komisi V DPR, anggaran akhir ditetapkan sebesar Rp50,48 triliun—naik sekitar Rp20 triliun dari pemotongan awal, tetapi masih berkurang sekitar Rp60 triliun dari pagu awal.
Achmad menilai pemangkasan besar-besaran ini berisiko menghambat berbagai proyek infrastruktur penting. “Jalan-jalan yang semestinya diperbaiki kini terbengkalai, sementara pembangunan bendungan dan irigasi yang vital bagi pertanian terpaksa ditunda atau bahkan dibatalkan,” jelasnya.
Selain itu, ia juga menyoroti dampak efisiensi anggaran terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah lembaga, termasuk LPP RRI dan TVRI.
“Meski ada beberapa keputusan PHK yang akhirnya dibatalkan setelah mendapat tekanan publik, ketidakpastian kerja bagi pegawai tetap menjadi masalah serius. Jika efisiensi anggaran dilakukan tanpa strategi yang matang, gelombang PHK dalam skala lebih besar bisa terjadi, yang berujung pada berkurangnya tenaga profesional di sektor-sektor strategis,” ungkap Achmad.
Meski begitu, ia mengakui bahwa efisiensi anggaran bukanlah kebijakan yang sepenuhnya buruk. Langkah ini berpotensi mengurangi pemborosan dan meningkatkan efektivitas operasional kementerian serta lembaga negara.
“Namun, tanpa perencanaan dan implementasi yang hati-hati, dampak negatifnya bisa lebih besar dan langsung dirasakan oleh masyarakat,” pungkasnya.
Efisiensi anggaran bukanlah kebijakan yang keliru, tetapi jika diterapkan tanpa perencanaan yang matang, dampaknya justru bisa mengganggu layanan publik dan merugikan masyarakat.
Pemotongan anggaran yang dilakukan secara asal-asalan berisiko memperlambat pembangunan infrastruktur, menurunkan kualitas pelayanan publik, serta meningkatkan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK). Oleh karena itu, pemerintah perlu mengadopsi pendekatan yang lebih selektif dan berbasis data dalam mengelola efisiensi anggaran.
Baca Juga : Indonesia Percepat Digitalisasi, Presiden Prabowo Setujui Pembentukan Komite Khusus
“Tidak semua kementerian dan lembaga dapat mengalami pemangkasan anggaran secara sembarangan, terutama yang memiliki peran krusial dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, seperti sektor infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan penanggulangan bencana,” ungkapnya.
Presiden Prabowo Subianto telah merancang kebijakan efisiensi anggaran dalam tiga tahap dengan target penghematan total sebesar Rp750 triliun. Pada tahap pertama, penghematan telah mencapai Rp300 triliun, sementara tahap kedua ditargetkan mencapai Rp308 triliun.