
Nusantara1News – pemerintah Amerika Serikat mengumumkan langkah baru untuk memperketat pengendalian ekspor chip dan teknologi kecerdasan buatan (AI). Kebijakan ini bertujuan menjaga dominasi teknologi komputasi canggih di tangan AS dan sekutunya, sambil memperluas upaya untuk membatasi akses China terhadap teknologi tersebut.
Peraturan baru ini akan membatasi ekspor chip AI ke sebagian besar negara, namun memberikan akses penuh kepada sekutu dekat AS. Di sisi lain, pembatasan ekspor tetap diberlakukan untuk negara-negara seperti China, Rusia, Iran, dan Korea Utara.
Baca Juga : Indonesia Menjadi Poros Inovasi Energi Terbarukan di Asia Tenggara
Pada masa-masa akhir pemerintahan Presiden Joe Biden, sebuah peraturan baru yang komprehensif diperkenalkan. Kebijakan ini dirancang tidak hanya untuk menargetkan China, tetapi juga untuk memperkuat posisi dominan Amerika Serikat dalam teknologi kecerdasan buatan (AI) melalui pengawasan global.
“Amerika Serikat saat ini memimpin dalam bidang AI, baik dalam pengembangan maupun desain chip AI, dan menjaga posisi ini sangatlah penting,” ujar Menteri Perdagangan Gina Raimondo.
Aturan ini menjadi puncak dari upaya empat tahun pemerintahan Biden untuk membatasi akses China terhadap chip canggih yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan militernya. Selain itu, kebijakan ini memperketat pengawasan dengan menutup celah dan menambahkan aturan baru guna mengendalikan distribusi chip serta perkembangan AI di tingkat global.
Masih belum diketahui bagaimana pemerintahan Presiden terpilih Donald Trump akan menanggapi peraturan baru ini, namun kedua pemerintahan berbagi pandangan yang serupa mengenai ancaman yang ditimbulkan oleh persaingan dengan China. Aturan ini dijadwalkan berlaku 120 hari setelah penerbitannya, memberikan waktu bagi pemerintahan Trump untuk meninjaunya lebih lanjut.
Pembatasan baru akan diterapkan pada unit pemrosesan grafis (GPU) canggih, yang menjadi tulang punggung pusat data untuk melatih model kecerdasan buatan. Sebagian besar GPU tersebut diproduksi oleh Nvidia, perusahaan yang berbasis di Santa Clara, California, sementara Advanced Micro Devices (AMD) juga menawarkan chip AI. Akibat pengumuman ini, saham Nvidia turun sekitar 5%, sementara saham AMD mengalami penurunan sekitar 1% pada perdagangan pagi hari.
Baca Juga : Koperasi Sektor Jasa Keuangan di Bawah OJK, Kemenkop Serahkan Daftar Resmi
Perusahaan penyedia layanan cloud utama, seperti Microsoft, Google, dan Amazon, akan memiliki peluang untuk mendapatkan otorisasi global guna mendirikan pusat data.
Dengan adanya persetujuan ini, penyedia cloud tidak lagi diwajibkan untuk mengajukan lisensi ekspor chip AI, memungkinkan mereka membangun pusat data di negara-negara yang terbatas dalam mengimpor chip akibat pembatasan kuota dari Amerika Serikat.
Ketiga perusahaan tersebut mengalami penurunan saham sekitar 1%.
Agar dapat memperoleh persetujuan, perusahaan yang berwenang harus memenuhi serangkaian persyaratan ketat, termasuk standar keamanan, kewajiban pelaporan, serta komitmen atau catatan yang menunjukkan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Selama ini, pemerintahan Biden telah menerapkan pembatasan luas terhadap akses China ke chip canggih dan teknologi manufaktur yang diperlukan untuk memproduksinya. Aturan-aturan ini terus diperbarui setiap tahun dengan tujuan memperketat pengawasan dan mengidentifikasi negara-negara yang berpotensi menjadi perantara transfer teknologi tersebut ke China.
NVIDIA MENYOROTI KEKHAWATIRAN TERHADAP ATURAN BARU
Aturan baru yang mengubah peta industri chip AI dan pusat data global telah memicu kritik dari sejumlah pemain besar di sektor teknologi bahkan sebelum resmi diterbitkan.
Pada hari Senin, Nvidia menyebut kebijakan tersebut sebagai langkah yang “melampaui batas” dan menyoroti bahwa aturan ini akan membatasi “teknologi yang sebenarnya sudah tersedia di perangkat PC gaming dan perangkat keras konsumen.” Di sisi lain, Oracle, penyedia layanan pusat data, sebelumnya menyampaikan bahwa kebijakan ini berpotensi memberikan “sebagian besar pasar AI dan GPU global kepada pesaing kami di Tiongkok.”
Namun, pembatasan ini tidak mencakup chip yang digunakan untuk gaming.
Aturan baru ini memperkenalkan persyaratan lisensi global untuk chip canggih dengan beberapa pengecualian, sekaligus menetapkan pengendalian atas “bobot model” yang digunakan dalam model kecerdasan buatan (AI) paling canggih. Bobot model, elemen penting dalam pengambilan keputusan pembelajaran mesin, dianggap sebagai bagian paling berharga dari model AI.
Peraturan ini membagi negara-negara di dunia menjadi tiga kelompok. Sekitar 18 negara, termasuk Jepang, Inggris, Korea Selatan, dan Belanda, hampir tidak terpengaruh oleh kebijakan ini. Sekitar 120 negara lainnya, seperti Singapura, Israel, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, akan dikenakan pembatasan tertentu. Sementara itu, negara-negara yang sudah berada di bawah embargo senjata seperti Rusia, Cina, dan Iran, sepenuhnya dilarang menerima teknologi ini.
Baca Juga : Kemenperin dan IAS Berkolaborasi Dorong Pertumbuhan Kawasan Aerotropolis
Perusahaan AS yang kemungkinan besar akan mendapat otorisasi global, seperti Amazon Web Services dan Microsoft, hanya diperbolehkan menggunakan maksimal 50% kapasitas komputasi AI mereka di luar AS. Penggunaan ini dibatasi lebih jauh, dengan maksimal 25% di luar negara-negara Tier 1 dan hanya 7% di satu negara non-Tier 1.
“Keberhasilan aturan ini dalam jangka panjang, 10 hingga 15 tahun mendatang, akan bergantung pada tim yang mengelolanya di masa depan,” ujar Meghan Harris, mantan pejabat keamanan nasional dari pemerintahan Trump. “Mereka memahami bahwa mempertahankan industri domestik yang kuat adalah kunci dalam persaingan dengan China.” dikuti dari laman Reuters.