
Nusantara1News – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) resmi mengonfirmasi bahwa fenomena iklim La Nina telah berakhir di Indonesia pada pertengahan Maret 2025. Berdasarkan hasil pemantauan indeks Indian Ocean Dipole (IOD) dan El Niño-Southern Oscillation (ENSO) pada Dasarian I Maret 2025, IOD tercatat berada dalam kategori Netral dengan indeks -0.31, yang diperkirakan bertahan hingga semester kedua tahun ini.
Baca Juga : Mensos Dorong Pendirian Sekolah Rakyat sebagai Wadah Cetak Agen Perubahan Bangsa
Sementara itu, anomali suhu permukaan laut (SST) di Nino 3.4 menunjukkan indeks sebesar 0.30, menandakan kondisi ENSO Netral. “La Nina telah berakhir. Artinya, musim kemarau akan normal. Semoga cuaca kondusif,” ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, Kamis (27/3/2025) di kutip dari laman CNBC Indonesia.
Musim Kemarau Dimulai Bertahap, Ini Wilayah yang Terdampak
Dengan berakhirnya La Nina, BMKG memperkirakan musim kemarau di Indonesia akan berlangsung secara bertahap, mulai dari Maret hingga April 2025. Pergantian musim ini dipengaruhi oleh peralihan angin monsun Asia ke angin monsun Australia.
“Awal musim kemarau umumnya berkaitan erat dengan peralihan angin monsun Asia atau angin daratan yang beralih menjadi angin monsun Australia yang aktif,” jelas Dwikorita.
BMKG memprediksi bahwa wilayah-wilayah berikut akan lebih dahulu memasuki musim kemarau pada April 2025:
• Lampung bagian timur
• Pesisir utara Jawa bagian barat
• Pesisir Jawa Timur
• Sebagian Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur
Kemudian, pada Mei 2025, musim kemarau akan meluas ke beberapa daerah lainnya, termasuk:
• Sebagian kecil Sumatra
• Sebagian besar Jawa Tengah hingga Jawa Timur
• Sebagian Kalimantan Selatan
• Bali dan Papua bagian selatan
Dampak Musim Kemarau: Pertanian dan Kesiapsiagaan Karhutla
BMKG mengimbau sektor pertanian untuk menyesuaikan jadwal tanam sesuai dengan pola musim kemarau di masing-masing wilayah. “Petani dapat memilih varietas tahan kekeringan serta mengoptimalkan pengelolaan air di daerah yang diprediksi mengalami musim kemarau lebih kering dari normal,” tambah Dwikorita.
Sebaliknya, wilayah yang berpotensi mengalami musim kemarau lebih basah dapat memanfaatkan kondisi ini untuk memperluas lahan sawah guna meningkatkan produksi pertanian.
Di sisi lain, sektor kebencanaan diimbau meningkatkan kesiapsiagaan terhadap kebakaran hutan dan lahan (karhutla), terutama di daerah yang diperkirakan mengalami musim kemarau dengan curah hujan normal atau di bawah normal.
BMKG: Musim Kemarau 2025 Cenderung Normal, Tak Sekering 2023
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, menjelaskan bahwa musim kemarau tahun ini diprediksi berada dalam kondisi iklim normal, tanpa pengaruh kuat dari fenomena ENSO atau IOD.
“Jadi utamanya karena tidak adanya dominasi iklim global seperti El Niño, La Niña, dan IOD, sehingga prediksi kami menunjukkan iklim tahun ini normal dan tidak sekering tahun 2023 yang berdampak pada banyak kebakaran hutan. Musim kemarau tahun 2025 cenderung mirip dengan kondisi musim kemarau tahun 2024,” kata Ardhasena.
Baca Juga : Mensos Dorong Pendirian Sekolah Rakyat sebagai Wadah Cetak Agen Perubahan Bangsa
Meski demikian, ia menekankan bahwa beberapa wilayah di Indonesia masih mungkin mengalami curah hujan yang lebih tinggi dari biasanya selama musim kemarau berlangsung. Oleh karena itu, masyarakat diimbau tetap waspada terhadap kemungkinan cuaca ekstrem.