
Nusantara1News – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dijadwalkan mengunjungi kawasan Teluk pada 13 Mei dengan rencana singgah di Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab. Nama kawasan itu sendiri mungkin akan ia sebut sebagai Teluk Arab, mencerminkan preferensi politik tertentu.
Baca Juga : TNI AU Persiapkan SDM dan Drone Baru untuk Amankan Natuna Utara
Kunjungan ini berlangsung di tengah ketegangan geopolitik yang masih membara, dan membawa sejumlah agenda penting seperti pembahasan upaya perdamaian antara Israel dan Gaza, isu energi dan minyak, kerja sama dagang, investasi strategis, serta kemungkinan kebijakan baru terkait ekspor semikonduktor dan program nuklir, Jumat (9/5) dikutip dari CNBC World.
Monica Malik, Kepala Ekonom Abu Dhabi Commercial Bank, menyatakan kepada CNBC bahwa kemungkinan akan ada berbagai pengumuman besar dalam kunjungan ini. Salah satu topik yang disebut adalah wacana pencabutan tarif 10% atas aluminium dan baja yang diberlakukan Trump, yang bisa menguntungkan negara-negara Teluk, walau kontribusi ekspor tersebut terhadap PDB mereka tergolong kecil.
Trump diketahui memiliki hubungan erat dengan negara-negara Teluk, khususnya Arab Saudi dan UEA hubungan yang diperkuat oleh keterlibatan bisnis keluarganya dalam proyek real estat di kawasan tersebut. Kedekatan ini berpotensi membuka jalan bagi kesepakatan perdagangan baru, meski juga menimbulkan kekhawatiran akan konflik kepentingan, tuduhan yang telah dibantah oleh pihak Trump.
Arab Saudi menjadi tujuan utama kunjungan luar negeri pertama Donald Trump saat menjabat presiden, dan kini kembali menjadi pusat perhatian sebagai lokasi penting perundingan yang diharapkan dapat mengakhiri konflik Rusia-Ukraina. Peran kerajaan ini kian strategis dalam hubungan dengan Washington. Di sisi lain, Qatar juga memainkan peran kunci sebagai mediator dalam pembicaraan gencatan senjata antara Israel dan Hamas, termasuk soal pembebasan sandera.
Wall Street, AI, dan Kepentingan Ekonomi di Teluk
Kunjungan Trump ke kawasan Teluk turut menarik perhatian para pemimpin industri besar dari Amerika Serikat. Forum investasi antara Arab Saudi dan AS yang akan digelar pada 13 Mei di Riyadh diperkirakan menjadi ajang penting pertemuan bisnis. Beberapa nama besar yang dijadwalkan hadir antara lain CEO BlackRock Larry Fink, CEO Palantir Alex Karp, serta pimpinan dari Citigroup, IBM, Qualcomm, Alphabet, dan Franklin Templeton. Kepala urusan AI dan kripto Gedung Putih, David Sacks, juga direncanakan hadir.
Monica Malik menambahkan bahwa forum ini kemungkinan besar akan menjadi momentum pengumuman sejumlah kesepakatan investasi besar. Ia juga menyebutkan bahwa Uni Emirat Arab telah lebih dulu menggelontorkan dana investasi ke AS dalam bidang energi, kecerdasan buatan, dan logam seperti aluminium, seraya menyatakan terbuka kemungkinan bagi perusahaan-perusahaan Amerika untuk memperluas investasi mereka di kawasan Teluk.
Arab Saudi dan Uni Emirat Arab telah melakukan investasi besar-besaran dalam pengembangan infrastruktur kecerdasan buatan (AI), dengan tujuan menjadikan kedua negara ini sebagai pusat global teknologi AI. Sebagai bagian dari rencana mereka, para pemimpin ini kemungkinan besar mempertimbangkan masa depan ekspor semikonduktor canggih dari AS, yang sebelumnya dibatasi oleh masalah keamanan nasional, namun hal tersebut bisa segera berubah.
Kemitraan AS dan Langkah Baru dalam Pengendalian AI
Pemerintahan Trump mengumumkan pada hari Rabu bahwa mereka akan mencabut “aturan difusi AI” era Biden, yang memberlakukan kontrol ketat terhadap ekspor chip AI ke negara-negara sahabat, termasuk negara-negara Teluk. Rencana ini bertujuan untuk menggantikan aturan lama dengan kebijakan yang lebih sederhana yang akan mendorong inovasi dan memperkuat posisi dominasi AI Amerika, meski rincian lebih lanjut tentang kebijakan tersebut masih belum dijelaskan.
Perusahaan berbasis AI di UEA, G42, telah berusaha untuk menyesuaikan diri dengan regulasi AS, termasuk dengan melepaskan saham di perusahaan-perusahaan China dan menjalin kemitraan dengan Microsoft, yang pada tahun lalu berinvestasi sebesar $1,5 miliar di G42.
Fokus pada Ambisi Nuklir
Pemerintahan Trump juga terlibat aktif dalam pembicaraan dengan Iran terkait program nuklirnya, yang mendapat dukungan dari Arab Saudi dan UEA. Ini menunjukkan perbedaan tajam dengan pendekatan negara-negara tersebut terhadap kesepakatan nuklir AS-Iran pada masa pemerintahan Obama.
Arab Saudi berambisi mengembangkan program nuklir sipilnya sendiri dan telah meminta bantuan serta persetujuan dari AS untuk mewujudkan tujuan tersebut. Sebelumnya, dukungan AS untuk inisiatif ini bergantung pada normalisasi hubungan diplomatik Saudi dengan Israel, salah satu sekutu utama AS. Namun, laporan media menyebutkan bahwa posisi ini bisa berubah seiring dengan kunjungan Trump ke kawasan Teluk.
Trump Membahas ‘Pengumuman Besar’ Sebelum Lawatannya ke Teluk
Menteri Energi AS, Chris Wright, dalam kunjungannya ke Arab Saudi pada bulan April lalu, menyatakan bahwa AS dan Saudi sedang berada pada “jalur yang benar” untuk mencapai kesepakatan mengenai program nuklir sipil, dengan pengumuman lebih lanjut yang rencananya akan disampaikan langsung oleh Trump.
Perundingan Gaza-Israel
Topik utama lainnya dalam kunjungan ini adalah masa depan Gaza. Trump telah berkomitmen untuk mengakhiri konflik, meskipun kontroversial dengan menyatakan bahwa AS bisa mengambil alih kendali atas jalur yang dilanda perang, yang ia sebut sebagai “real estat yang sangat berharga,” sebuah komentar yang mendapat reaksi keras dari para pemimpin Arab.
Sementara itu, AS terus berupaya mencapai kesepakatan gencatan senjata, dengan perundingan terbaru mencakup penghentian permusuhan selama 21 hari dan pembebasan beberapa sandera. Namun, Israel juga setuju untuk memperluas operasi militer dan kontrol teritorial di Gaza.
Greg Branch, pendiri Branch Global Capital Advisors yang berbasis di Uni Emirat Arab, menyatakan kepada CNBC pada Jumat lalu bahwa hingga saat ini, belum ada rencana menyeluruh dari dunia Arab terkait kunjungan Trump yang akan datang.
“Jika respons dari negara-negara Arab akan dipimpin oleh mereka, ini mungkin adalah saat terakhir atau tidak sama sekali,” kata Branch. “Saya rasa ini akan ditangani dengan hati-hati di balik layar… kemungkinan besar lebih merupakan tantangan geopolitik jangka panjang daripada ancaman langsung yang mempengaruhi pasar global.”
Minyak dan Isu Pembiayaan
Branch juga mengungkapkan bahwa ada kemungkinan pembicaraan mengenai pencabutan sanksi AS terhadap Suriah di bawah pemerintahan baru. Selain itu, laporan yang mengindikasikan bahwa Trump akan mengubah nama Teluk Persia menjadi Teluk Arab diperkirakan akan mendapat dukungan positif dari negara-negara Arab, meskipun dapat memicu kemarahan dari Iran, terutama menjelang negosiasi nuklir yang masih berlangsung.
Masalah harga minyak juga diperkirakan akan menjadi perhatian utama. Trump telah lama mendesak negara-negara OPEC, yang dipimpin oleh Arab Saudi, untuk meningkatkan produksi minyak guna menurunkan harga bagi konsumen AS. Meskipun Saudi telah mengikuti permintaan tersebut, mereka mungkin harus menyesuaikan kebijakan mereka jika harga minyak tetap rendah, yang dapat mengurangi pendapatan kerajaan.
Pembiayaan diperkirakan akan menjadi topik utama dalam kunjungan Trump ke Arab Saudi, menurut Malik dari Abu Dhabi Commercial Bank.
Pada November lalu, Arab Saudi mengumumkan komitmennya untuk menginvestasikan $600 miliar di AS selama masa jabatan Trump. Namun, kerajaan ini juga menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan ambisi investasi dari Visi 2030 mereka. Penurunan harga minyak dunia dan sejumlah proyek belanja publik yang besar telah menyebabkan defisit anggaran yang semakin melebar bagi Riyadh.
Baca Juga : TNI AU Persiapkan SDM dan Drone Baru untuk Amankan Natuna Utara
“Melihat kondisi harga minyak saat ini, Arab Saudi akan semakin bergantung pada dukungan pembiayaan dari Amerika dan berupaya untuk terus melanjutkan program investasi mereka,” ungkap Malik.