breaking news
Home » Kerusakan Danau Poso dan Risiko Punahnya Keanekaragaman Spesies Endemik Air Tawar

Kerusakan Danau Poso dan Risiko Punahnya Keanekaragaman Spesies Endemik Air Tawar

Bagikan :

Ikan gobi poso (Mugilogobius sarasinorum), ikan endemik Danau Poso, ikan ini memiliki diameter 6-8 cm, dan berdasarkan Red List IUCN masuk kategori terancam (EN). Dok: Institut Mosintuwu/Ekspedisi Poso/Eko. ( Sumber Mongabay.co.id )

Nusantara1News – Mongabay Keberadaan Danau Poso di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, kini menghadapi ancaman serius. Data satelit dari Global Forest Watch mengungkap adanya aktivitas perambahan yang terus terjadi di Cagar Alam Pamona, yang terletak di bagian tenggara danau.

Sebagai danau terbesar ketiga di Indonesia dengan panjang 32 kilometer dan lebar 16 kilometer, Danau Poso memiliki ekosistem unik yang menjadi rumah bagi berbagai spesies endemik. Karena keunikan tersebut, kawasan ini masuk dalam daftar Alliance for Zero Extinction (AZE), sebuah jaringan global yang melindungi spesies yang terancam punah.

Baca Juga : Panglima Militer Israel Tewas Dibom Hizbullah

Antara tahun 2002 hingga 2023, sekitar 681 hektar hutan primer di sekitar danau mengalami kerusakan, yang mencakup 48 persen dari total kehilangan tutupan pohon dalam kurun waktu tersebut. Secara lebih luas, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa luas tutupan hutan di Kabupaten Poso menyusut dari 514.651 hektar pada tahun 2014 menjadi 358.828 hektar pada tahun 2021.

Kerusakan lingkungan ini telah memicu berbagai dampak, termasuk meningkatnya frekuensi banjir dan terganggunya mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam setempat.

Menurut Sunardi Katili, Direktur Walhi Sulteng, ada tiga faktor utama yang mendorong deforestasi di wilayah ini, yaitu pertambangan nikel, ekspansi perkebunan kelapa sawit, serta pembukaan lahan untuk pertanian skala kecil.

“Tingginya permintaan pasar terhadap nikel untuk industri baterai kendaraan listrik serta stainless steel untuk peralatan rumah tangga menjadi pemicu utama eksploitasi sumber daya alam,” ujar Katili, dikutip dari Mosintuwu pada Mei 2024.

Keunikan Danau Poso di Mata Ilmuwan
Danau Poso, yang terbentuk sekitar dua juta tahun lalu akibat aktivitas tektonik, telah berkembang menjadi laboratorium alami bagi para ilmuwan untuk meneliti keanekaragaman hayati, evolusi, serta proses geologi.

Meski memiliki nilai ilmiah yang tinggi, penelitian mengenai Danau Poso masih sangat terbatas. “Masalah utama dengan Danau Poso adalah minimnya data ilmiah,” ungkap Doug Haffner, profesor emeritus limnologi dari University of Windsor, Kanada, dalam wawancara dengan Mongabay pada tahun 2020.

Menurut Haffner, hingga kini sangat sedikit penelitian yang dilakukan di danau ini, dan riset yang telah ia lakukan selama 25 tahun menjadi salah satu sumber utama mengenai kondisi fisik, kimia, dan biologi Danau Poso. Sayangnya, data yang tersedia masih jauh dari cukup untuk memahami lebih dalam tentang salah satu ekosistem danau paling penting di Indonesia.

Danau ini menjadi habitat bagi berbagai spesies langka yang tidak ditemukan di tempat lain. Banyak di antaranya adalah invertebrata dengan tingkat endemisitas tinggi, seperti moluska, udang, dan ikan air tawar. Beberapa spesies khas yang menonjol antara lain kepiting Migmathelphusa olivacea yang kini terancam punah serta gobi sarasin (Mugilogobius sarasinorum), ikan kecil yang hanya hidup di perairan Danau Poso.

“Di dunia ini, sangat sedikit ekosistem purba yang masih bertahan. Danau Poso ibarat benteng terakhir bagi keanekaragaman hayati,” kata Haffner.

Terancamnya Warisan Budaya di Danau Poso
Danau Poso merupakan sumber kehidupan bagi sekitar 60.000 penduduk yang tinggal di sekitarnya. Terletak sekitar 260 kilometer atau delapan jam perjalanan darat dari Palu, ibu kota Sulawesi Tengah, danau ini tidak hanya penting secara ekologis tetapi juga memiliki makna budaya yang mendalam, terutama bagi Masyarakat Adat setempat.

Bagi komunitas adat di sekitar Danau Poso, danau ini dipandang sebagai entitas hidup yang dihormati. “Masyarakat adat menyebut Danau Poso dengan kata ganti orang ketiga tunggal: ‘dia’. Ini mencerminkan penghormatan mereka dan keyakinan bahwa danau ini adalah sumber kehidupan,” ujar Lian Gogali, pendiri Institut Mosintuwu, dalam emailnya kepada Mongabay.

Selama berabad-abad, Masyarakat Adat telah menjaga keseimbangan ekosistem dengan mengelola sawah, perkebunan, dan lahan penggembalaan kerbau di sekitar perairan. Sementara itu, nelayan lokal tetap melestarikan metode perikanan tradisional yang diwariskan turun-temurun.

Namun, kehidupan berbasis tradisi ini kini menghadapi ancaman serius. Dalam lima bulan pertama tahun 2024 saja, wilayah ini telah dilanda 12 kali banjir besar angka yang melampaui total kejadian banjir sepanjang tahun sebelumnya.

Dampak Konflik dan Proyek Bendungan terhadap Danau Poso
Menurut Human Rights Watch, konflik bernuansa agama yang terjadi di Poso antara tahun 1998 hingga 2000 mengakibatkan ratusan korban jiwa dan memaksa ribuan orang meninggalkan rumah mereka.

“Ketika konflik berlangsung, banyak warga yang terpaksa meninggalkan tanah mereka—beberapa bahkan menjualnya. Saat mereka kembali, mereka sulit memperjuangkan hak atas tanahnya karena faktor agama atau etnis,” ujar Lian Gogali.

Kini, Danau Poso menghadapi tantangan baru dengan adanya proyek pembangkit listrik tenaga air berkapasitas 515 megawatt yang dikelola oleh PT Poso Energy.

Baca Juga : Layanan Pos Amerika Serikat Hentikan Penerimaan Paket Dari China dan Hong Kong

Dalam wawancara Mongabay pada tahun 2020, disebutkan bahwa pasca-konflik, sejumlah pejabat lokal mendukung proyek bendungan senilai USD700 juta ini dengan harapan dapat memulihkan keharmonisan di Poso yang sebelumnya terpecah akibat konflik sektarian.

Namun, keberadaan bendungan justru membawa dampak bagi nelayan setempat.

“Kami dulu bisa menangkap sugiri (belut) dalam jumlah besar menggunakan perangkap ikan. Dalam semalam, bisa dapat 20 hingga 40 kilogram,” kata Freddy Kalengke, seorang nelayan lokal, dalam wawancara dengan The Jakarta Post.

Kini, hasil tangkapannya menurun drastis. “Dapat lima kilogram saja sudah beruntung,” tambahnya.

Kalengke menjelaskan bahwa penyebab penurunan ini adalah pembangunan bendungan oleh Poso Energy pada tahun 2019, yang menghalangi jalur migrasi belut.

Editor : Nusantara1News


Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *