
Nusantara1News – Mongabay Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melaporkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor kelautan dan perikanan mencapai Rp2,16 triliun sepanjang 2024, menjadi angka tertinggi sejak lembaga ini berdiri. Dari jumlah tersebut, subsektor perikanan tangkap menyumbang Rp1,053 triliun, dengan PNBP dari sumber daya alam (SDA) penangkapan ikan sebesar Rp955,39 miliar dan non-SDA yang berasal dari imbal jasa unit eksekutif teknis (UPT) mencapai Rp101,193 miliar.
Baca Juga : APBD 2025 Riau Alami Defisit Rp 1,3 Triliun, DPRD Minta Banggar Tinjau Ulang
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Lathoria Latif, mengakui bahwa pencapaian ini bukan tanpa tantangan. Masih banyak pelanggaran di lapangan yang berpotensi menurunkan PNBP, seperti praktik transshipment ilegal, penggunaan alat tangkap yang tidak sesuai regulasi, pelaporan hasil tangkapan yang tidak akurat, serta pemantauan ikan yang tidak sesuai prosedur di pelabuhan pangkalan.
Menurutnya, kegiatan ilegal di laut ini merugikan nelayan kecil, yang seharusnya bisa mendapatkan manfaat lebih dari PNBP yang dihimpun. Ia menegaskan bahwa dana PNBP akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk pembangunan infrastruktur perikanan, penyediaan alat tangkap, serta peningkatan keterampilan teknis nelayan kecil guna mendorong keberlanjutan sektor perikanan.
Sepanjang 2023, KKP mencatat 240 kapal yang terlibat dalam praktik illegal fishing, dengan 30 di antaranya merupakan kapal asing dan 210 kapal milik Indonesia. Akibat aktivitas ilegal ini, potensi kerugian negara ditaksir mencapai Rp3,7 triliun. Selain itu, KKP juga berhasil menggagalkan penyelundupan benih bening lobster (BBL) dalam 44 kasus di 16 lokasi berbeda, dengan total 6,44 juta BBL yang bernilai sekitar Rp849 miliar.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menetapkan aturan baru melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/2024, yang mengatur persyaratan dan prosedur penerapan tarif atas berbagai jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku dalam pemanfaatan sumber daya perikanan.
Peraturan ini mewajibkan pelaku usaha untuk melaporkan data produksi setiap musim penangkapan ikan. Jika data tersebut belum tersedia setelah musim berakhir, laporan harus disampaikan melalui aplikasi digital, seperti e-PIT dengan fitur Laporan Perhitungan Sendiri (LPS), sebelum melakukan pembayaran PNBP ke kas negara.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Lathoria Latif, menyatakan bahwa skema PNBP pascaproduksi memberikan berbagai manfaat. Selain meningkatkan penerimaan negara, sistem ini juga menghasilkan data tangkapan yang lebih akurat hingga ke tingkat spesies ikan tertentu, sehingga pemanfaatan sumber daya ikan dapat dihitung secara lebih presisi.
Hingga 20 Desember 2024, total PNBP dari sektor penangkapan ikan mencapai Rp966,02 miliar, dengan rincian Rp868,03 miliar berasal dari sumber daya alam (SDA) dan Rp97,99 miliar dari non-SDA. Lathoria menekankan bahwa sistem pascaproduksi ini lebih adil bagi nelayan karena besaran PNBP disesuaikan dengan jumlah tangkapan aktual.
Data juga mencatat bahwa produksi perikanan tangkap hingga 30 November 2024 mencapai 6,7 juta ton. Ia menambahkan, peningkatan pencatatan ini berkontribusi pada keakuratan data statistik perikanan, yang nantinya akan menjadi dasar dalam perumusan kebijakan yang lebih efektif.
Di luar sektor penangkapan ikan, subsektor pengelolaan ruang laut turut menyumbang PNBP melalui retribusi pemanfaatan ruang laut. Berdasarkan data per 19 Desember 2024, penerimaan dari sektor ini mencapai Rp833,18 miliar, mengalami kenaikan signifikan sebesar 117,63% dibanding tahun sebelumnya.
Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP, Victor Gustaf Manopo, menjelaskan bahwa sumber pendapatan terbesar berasal dari Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL), yang mencapai Rp439,8 miliar. Ia menegaskan bahwa PKKPRL merupakan izin dasar bagi aktivitas menetap di wilayah laut, memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha di sektor ini.
Diversifikasi PNBP untuk Pengelolaan Perikanan yang Optimal dan Berkelanjutan
Pakar Sosial Ekonomi Perikanan, Suhana, mendorong Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mengembangkan sumber pendapatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang lebih beragam. Ia menilai bahwa selama ini KKP masih terlalu bergantung pada sektor tertentu dalam meningkatkan pendapatan negara. “Perlu ada evaluasi menyeluruh dan perbaikan struktural agar setiap unit mampu berkontribusi secara maksimal sesuai potensinya,” ujarnya.
Menurut Suhana, diversifikasi ini penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap sumber daya alam serta memastikan pengelolaan pendapatan yang lebih transparan dan akuntabel. Dengan demikian, optimalisasi sumber pendapatan dapat dilakukan secara berkelanjutan tanpa merusak ekosistem perikanan.
PNBP sektor perikanan berpotensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, pelaku usaha, serta masyarakat dalam pengelolaannya. Ia juga menekankan pentingnya keterbukaan akses terhadap informasi PNBP agar masyarakat dapat turut serta dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penggunaan dana tersebut. Partisipasi publik ini akan memperkuat rasa memiliki dan tanggung jawab bersama dalam menjaga sumber daya perikanan.
Direktur Program Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Imam Trihatmaja, mengakui bahwa capaian PNBP 2024 yang mencapai Rp2,16 triliun merupakan pencapaian terbaik dibandingkan periode sebelumnya. Namun, ia juga menyoroti sejumlah aspek yang masih membutuhkan perbaikan, seperti validitas data, efektivitas pengawasan, pencatatan hasil tangkapan, serta kesejahteraan nelayan dan awak kapal perikanan (AKP).
Salah satu tantangan terbesar adalah transparansi dalam pendistribusian PNBP. Idealnya, peningkatan PNBP harus sejalan dengan pembangunan infrastruktur perikanan yang lebih layak dan jaminan sosial bagi nelayan serta pekerja perikanan. Namun, Imam mengingatkan bahwa perubahan skema PNBP dari praproduksi ke pascaproduksi belum sepenuhnya menutup celah pelanggaran. Sistem ini masih memerlukan penguatan dalam pendataan, pengawasan, dan kepatuhan pelaku usaha dalam melaporkan hasil tangkapan secara akurat.
Baca Juga : KPU Riau Tetapkan Lima Panelis Debat Pilgub 2024, Tegaskan Netralitas
“Kapasitas pengawasan kita masih terbatas, sementara jumlah pelabuhan perikanan di Indonesia sangat banyak,” ungkapnya. Skema PNBP pascaproduksi seharusnya menciptakan keadilan bagi nelayan karena besaran pembayaran ditentukan berdasarkan jumlah tangkapan. Namun, di lapangan masih ditemukan praktik penghindaran pembayaran dengan tidak melaporkan hasil tangkapan secara benar.
Dengan optimalisasi kebijakan dan pengawasan yang lebih ketat, diharapkan PNBP dapat menjadi instrumen yang tidak hanya meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga memperkuat kesejahteraan nelayan dan keberlanjutan sektor perikanan di Indonesia.