
Nusantara1News – Mongabay Indonesia tengah mempersiapkan ratifikasi Perjanjian Keanekaragaman Hayati di Luar Yurisdiksi Nasional (BBNJ), dan proses tersebut hampir selesai dengan hanya menyisakan satu tahap. Tahap terakhir ini adalah untuk menentukan apakah ratifikasi akan dilakukan melalui Undang-undang (UU) atau Peraturan Presiden (Perpres). Kedua opsi tersebut mengacu pada UU Nomor 24/2000 tentang Perjanjian Internasional dan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 13/PUU-XVI/2018.
Sebelumnya, Indonesia telah melaksanakan konsultasi nasional pada 21 Juni 2024, yang merupakan tindak lanjut dari penandatanganan perjanjian oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada 20 September 2023.
Baca Juga : Presiden Prabowo Subianto Mulai Berkantor di IKN pada 2028, Persiapan Infrastruktur Digeber
Ruliyana Susanti, anggota Dewan Pakar Sekretariat Kewenangan Ilmiah Keanekaragaman Hayati di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BKIKH BRIN), menjelaskan bahwa perjanjian BBNJ mengatur pemanfaatan keanekaragaman hayati di luar wilayah yurisdiksi nasional, termasuk sumber daya genetik kelautan, distribusi manfaat moneter dan nonmoneter, manajemen berbasis area, penilaian dampak lingkungan, serta peningkatan kapasitas dan transfer teknologi kelautan.
Menurut Ruliyana, pengaturan sumber daya genetik sangat krusial karena produk-produk tersebut memiliki manfaat signifikan bagi manusia, seperti chitosan dari kulit kepiting dan udang untuk obat anti-kolesterol, serta makroalga dan timun laut untuk obat anti-kanker.
Ruliyana juga menekankan beberapa hal penting yang harus diperhatikan jika ratifikasi dilakukan, termasuk penyediaan anggaran, pelibatan generasi muda, partisipasi masyarakat sipil, dan peningkatan kapasitas.
Laura Adibunga Nindya, Program Officer Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), menambahkan bahwa pelibatan generasi muda sejalan dengan prinsip perjanjian BBNJ yang menganggapnya sebagai warisan bersama umat manusia. Oleh karena itu, keuntungan dari pemanfaatan sumber daya alam tersebut harus dibagi secara adil dan menghormati hak-hak masyarakat adat serta komunitas lokal.
Hal ini sesuai dengan Pasal 32 ayat (1) dan (3) dari perjanjian BBNJ yang mendorong pelibatan berbagai pihak dan kerja sama dalam peningkatan kapasitas, sebagaimana tercantum dalam Pasal 41 ayat (2) perjanjian tersebut.
Peran masyarakat sipil juga sangat penting, baik dalam implementasi perjanjian BBNJ setelah disahkan maupun selama proses perundingan. Beberapa kelompok masyarakat sudah terlibat dalam penyusunan draf teks dan lokakarya terkait analisis dampak lingkungan serta kawasan perlindungan laut. Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) dan High Seas Alliance (HSA) misalnya, telah menyelenggarakan lokakarya mengenai isu hukum internasional dan kerangka hukum domestik. Mereka juga berperan penting dalam mengawasi pelaksanaan perjanjian BBNJ oleh pemerintah.
Ahmad Almaududy Amri, Penasihat Hukum Kementerian Luar Negeri, menyatakan bahwa ratifikasi merupakan elemen penting dalam upaya peningkatan negara dalam perjanjian internasional. Namun, ia menekankan bahwa elemen yang lebih utama adalah kesiapan negara beserta seluruh unsur terkait untuk melaksanakan ketentuan dalam Perjanjian BBNJ.
Pemerintah perlu segera mempersiapkan berbagai aspek yang mendukung, seiring dengan berjalannya proses ratifikasi. Hal ini mencakup anggaran, sarana dan prasarana, serta pengelolaan sumber daya manusia (SDM).
Arfan Faiz Muhlizi, Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional di Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkum HAM, menjelaskan bahwa proses ratifikasi akan melalui beberapa tahapan dalam peta jalan, yang meliputi perencanaan, penetapan, dan pengesahan menjadi undang-undang. Dalam hal ini, penggunaan regulasi bisa berupa UU atau Peraturan Presiden (Perpres).
Kedua opsi tersebut akan memberikan landasan hukum yang kuat bagi pelaksanaan ratifikasi perjanjian BBNJ di Indonesia. Jika menggunakan UU, perlu disusun naskah akademis atau naskah urgensi yang komprehensif jika memilih Perpres.
Arfan juga mengingatkan beberapa hal penting sebelum meratifikasi Perjanjian BBNJ, antara lain penyusunan naskah akademik untuk memastikan bahwa ratifikasi tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Proses tersebut juga harus melibatkan partisipasi publik yang bermakna.
Selain itu, pendekatan seperti analisis biaya dan manfaat (CBA), analisis dampak regulasi (RIA), serta kerangka ROCCIPI (Rule, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process, dan Ideology) perlu diterapkan.
“Perlu dilakukan telaah mendalam untuk memastikan kesesuaian antara materi perjanjian dan jenis peraturan perundang-undangan yang tepat,” tambah Arfan.
Sumber pangan
Gita Sabharwal, Kepala Perwakilan PBB untuk Indonesia, menegaskan bahwa perjanjian BBNJ sangat penting bagi dunia karena ekosistem laut lepas berperan dalam menyerap hingga 25% dari total emisi karbon global. “Perjanjian ini adalah yang paling signifikan dalam tata kelola laut dalam beberapa dekade terakhir, mencakup dua pertiga luas lautan dunia,” ujarnya.
Ekosistem laut memiliki peran kunci dalam menyerap karbon, dengan cara menangkap dan menyimpannya dalam biomassa tanaman dan sedimen. Oleh karena itu, Indonesia memiliki posisi strategis dalam perjanjian BBNJ karena memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, dengan lebih dari 8.500 spesies biota laut.
“Apapun yang terjadi di laut lepas akan berdampak pada Indonesia, karena laut adalah ekosistem yang saling terhubung. Oleh karena itu, ratifikasi yang cepat sangat penting,” tambahnya.
Gita menyampaikan bahwa PBB yakin perjanjian BBNJ akan berkontribusi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), target keanekaragaman hayati Kunming-Montreal untuk melindungi 30% laut, serta menggandakan ekonomi biru dalam dua dekade mendatang.
Perjanjian ini menekankan pentingnya kerjasama antara negara maju dan berkembang dalam pengelolaan sumber daya laut lepas. Ini menunjukkan betapa pentingnya upaya kolaboratif internasional untuk pemanfaatan dan konservasi sumber daya laut secara berkelanjutan.
Gita juga menekankan pentingnya kepemimpinan Indonesia dalam mendukung pemanfaatan laut secara inklusif dan komprehensif, dengan prinsip kesetaraan agar setiap negara dapat merasakan manfaat yang setara. Banyak stok ikan di laut lepas yang dikelola bersama oleh beberapa negara, sehingga pengelolaan berkelanjutan sangat vital untuk memastikan keberlanjutan populasi ikan dan mata pencaharian bagi generasi mendatang.
Rumah bagi spesies
Rizza Sacra Dejucos, Koordinator Regional Asia untuk High Seas Alliance, melaporkan bahwa sejauh ini 105 negara telah menandatangani perjanjian BBNJ, dan 15 negara sudah meratifikasinya. Di Asia, 12 negara telah menandatangani perjanjian ini, dengan empat di antaranya sudah meratifikasi, yaitu Bangladesh, Singapura, Timor-Leste, dan Maladewa.
Dia menekankan pentingnya perjanjian BBNJ bagi Asia, karena ada klausul khusus yang menyebutkan kawasan ini sebagai “rumah bagi spesies yang terancam punah, serta spesies migran yang memerlukan perlindungan.”
Menurut Rizza, laut merupakan sumber pangan penting di seluruh dunia dan mendukung ekonomi lebih dari setengah miliar orang. Oleh karena itu, kelestarian laut harus dijaga.
Baca Juga : Pemerintah RI Mau Batasi Anak Main Medsos
Brigitta Maria Andrea Gunawan, Pendiri 30×30 Indonesia dan Duta Muda High Seas Alliance, mengungkapkan bahwa perjanjian BBNJ bisa berlaku secara global jika setidaknya 60 negara meratifikasinya.
Indonesia memiliki peran krusial untuk memastikan perjanjian ini dapat diterapkan secara global. Salah satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan meratifikasi perjanjian BBNJ yang mendukung tujuan menciptakan 30% kawasan konservasi laut pada tahun 2030.
Inisiatif 30×30 didasarkan pada penelitian ilmiah dari panel Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) yang menyoroti pentingnya perlindungan 30-50% dari bumi untuk menjaga keanekaragaman hayati dan mempertahankan fungsi ekosistem.