
Nusantara1News – Harga minyak mentah global kembali mengalami penurunan menjelang akhir pekan. Dua faktor utama menjadi pemicunya, yakni menguatnya nilai tukar dolar Amerika Serikat dan potensi peningkatan produksi dari kelompok produsen minyak OPEC+ dalam waktu dekat. Tekanan terhadap pasar energi semakin dalam setelah muncul laporan bahwa negara-negara produsen utama bersiap menambah suplai ke pasar.
Baca Juga : Presiden Prabowo Imbau Kepala Daerah Prioritaskan Kepentingan Rakyat
Menurut data dari Refinitiv, minyak Brent kontrak Juli ditutup turun ke angka US$64,01 per barel pada Jumat (23/5) dikutip dari CNBC Indonesia. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) juga merosot ke level US$60,75 per barel. Dalam sepekan, Brent mengalami koreksi sebesar 2%, sedangkan WTI terjun 2,7%, menjadikannya penurunan mingguan terdalam sepanjang bulan ini.
Kenaikan tajam nilai dolar AS menjadi salah satu sorotan utama. Penguatan mata uang ini dipicu oleh keberhasilan Presiden Donald Trump meloloskan rancangan undang-undang pemangkasan belanja dan pajak di Dewan Perwakilan Rakyat. Secara historis, penguatan dolar kerap membebani harga komoditas, termasuk minyak, karena membuatnya lebih mahal bagi negara-negara dengan mata uang non-dolar.
Namun bukan hanya faktor nilai tukar yang membayangi. Bloomberg melaporkan bahwa OPEC+ tengah membahas kemungkinan peningkatan produksi sebesar 411.000 barel per hari mulai bulan Juli. Meskipun belum ada keputusan final, sinyal ini sudah cukup menggoyang ekspektasi pasar terhadap harga. Di sisi lain, Reuters juga menyebutkan bahwa OPEC+ berniat mempercepat pelonggaran kebijakan pembatasan produksi yang sebelumnya diberlakukan.
Tekanan terhadap harga minyak semakin terasa setelah laporan terbaru menunjukkan lonjakan signifikan dalam cadangan minyak mentah AS. Data dari The Tank Tiger, sebuah perusahaan broker penyimpanan energi, menunjukkan permintaan penyimpanan minyak mentah di AS hampir menyamai puncaknya saat pandemi COVID-19. Hal ini menandakan bahwa pasar sedang bersiap menghadapi tambahan suplai dalam waktu dekat.
Baca Juga : Presiden Prabowo Imbau Kepala Daerah Prioritaskan Kepentingan Rakyat
Saat ini, pelaku pasar menunggu laporan mingguan dari Baker Hughes mengenai jumlah rig minyak dan gas yang aktif. Data ini dinilai sebagai indikator penting untuk memantau arah produksi mendatang, di tengah ketidakpastian kebijakan OPEC+ dan dinamika permintaan energi global.