
Nusantara1News – Hairun Rumbia melaju kencang dengan sepeda motornya menyusuri jalan setapak menuju kebunnya di barat daya Pulau Gebe. Ia sempat cemas saat melihat sosok asing yang baru saja ia lewati, khawatir orang tersebut adalah perwakilan perusahaan tambang. Namun, rasa lega menyelimutinya setelah menyadari dugaannya keliru. “Mereka (orang perusahaan) sering datang untuk memeriksa kebun,” ujarnya.
Kekhawatiran Hairun bukan tanpa alasan. Perusahaan tambang telah berulang kali mencoba membujuknya untuk melepas lahannya. Kebun seluas satu hektar itu sebagian masuk dalam wilayah konsesi PT Smart Marshindo (SM), perusahaan tambang nikel dengan area konsesi seluas 666,30 hektar. Wilayah konsesi SM membentang dari utara hingga selatan di semenanjung Oelieboeli, sisi barat Pulau Gebe.
Baca Juga : Memaksimalkan Diplomasi Budaya, Fadli Zon Dorong Peran Indonesia
Di kebunnya, Hairun menanam lebih dari 200 pohon kelapa yang menjadi sumber penghidupan keluarganya. “Dalam setahun, saya bisa panen dua kali, dengan hasil lebih dari satu ton setiap kali panen. Namun, tahun ini hasilnya menurun karena serangan hama,” tuturnya pada Minggu (22/12/2024).
Namun, ancaman yang lebih besar bagi Hairun bukanlah serangan hama, melainkan ekspansi industri ekstraktif yang semakin masif. Keberadaan tambang dapat membuatnya kehilangan kendali atas lahan yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya. Kebunnya sendiri termasuk dalam peta tambang SM. Bahkan, lahan milik petani tetangganya sudah mulai dikeruk. Dari kebunnya, Hairun juga bisa melihat perbukitan di Pulau Fau yang mulai gundul akibat aktivitas tambang PT Aneka Niaga Prima (ANP).
Menariknya, baik ANP maupun SM dipimpin oleh direktur yang sama, Shanty Alda Nathalia, yang namanya tercatat dalam kasus korupsi mantan Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba, yang sedang ditangani KPK. ANP memiliki konsesi seluas 459,66 hektar di Pulau Fau.
Hairun bersikeras menolak rencana perusahaan untuk mengeruk kebunnya. “Jika mereka mengganggu, pemerintah harus turun tangan. Kami akan kesulitan karena tidak bisa lagi berkebun,” katanya dengan nada prihatin.
Mongabay telah mengupayakan konfirmasi dari pihak perusahaan sejak awal Februari. Namun, hingga berita ini diterbitkan, permintaan wawancara tersebut belum mendapat tanggapan.
Pencemaran Sungai dan Ancaman terhadap Kehidupan Warga
Aktivitas PT Smart Marshindo (SM) di Pulau Gebe telah berlangsung sejak pertengahan 2022. Meski sebagian wilayah konsesi perusahaan berada di kawasan hutan, SM diduga tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Selain itu, izin usaha pertambangan (IUP) yang dimiliki perusahaan juga dianggap melanggar UU No. 3/2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) karena diperoleh melalui rekomendasi bupati, bukan melalui proses lelang.
Bagi warga Pulau Gebe, bertani dan berkebun adalah sumber penghidupan utama. Namun, sejak kehadiran perusahaan tambang, banyak warga kesulitan mempertahankan lahan mereka. Sebagian kebun telah beralih kepemilikan, sementara yang lain berjuang mati-matian untuk bertahan.
Mira, seorang petani setempat, mengungkapkan kekhawatirannya. “Saat ini kami masih bisa makan, tapi bagaimana dengan anak cucu kami jika kebun-kebun ini dijadikan tambang?” ujarnya. Kebun Mira ditanami kelapa, cengkih, pala, dan sagu, yang hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Warga bahkan membangun rumah singgah semi-permanen di area kebun untuk beristirahat, terutama saat harus tinggal di kebun selama berhari-hari. Mereka mengandalkan air sungai yang mengalir di tengah kebun untuk minum dan memasak.
Namun, kehadiran tambang telah mengubah segalanya. Sungai-sungai yang dulunya jernih kini tercemar, berubah warna menjadi kekuningan akibat limbah tambang. Batu-batu di sekitar sungai juga terlihat berwarna kecoklatan, menandakan dampak serius dari aktivitas pertambangan.
Dampak pada Perairan dan Kehidupan Nelayan
Tidak hanya sungai, laut di sekitar Pulau Gebe juga mengalami pencemaran. Meskipun aktivitas tambang berlangsung di darat, hujan membawa material tambang ke pesisir, mengubah warna air laut menjadi kuning kecoklatan. Sedimentasi terjadi di teluk Simingit dan Inalo, Kampung Umera, di sisi utara pulau.
Abdul Manan Magtiblo, Kepala Kampung Umera, mengungkapkan bahwa nelayan kini kesulitan mencari ikan dan harus melaut lebih jauh. “Air laut berwarna kuning kecoklatan, ikan pun menghilang. Nelayan yang paling terdampak,” katanya. Riset oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pada 2018 mengonfirmasi hal ini, menyebutkan bahwa tambang telah merusak ekosistem pesisir, termasuk terumbu karang dan mangrove yang tertutup sedimen lumpur.
Abdul Motalib Angkotasan, Peneliti Oseanografi Universitas Khairun Ternate, menjelaskan bahwa aktivitas tambang nikel yang masif menyebabkan penyebaran material tambang yang luas, merusak ekosistem laut. “Lamun dan terumbu karang kehilangan fungsi ekologisnya,” ujarnya. Ikan-ikan demersal seperti kerapu dan kakap pun berpindah habitat, memaksa nelayan seperti La Ode Iluaudin untuk melaut hingga 50 mil ke Raja Ampat. “Dulu cukup 20-30 mil, sekarang harus lebih jauh untuk dapat ikan,” keluhnya.
Kerentanan Ekosistem Pulau Kecil
Agustinus Kastanya, Guru Besar Fakultas Pertanian Unpatti Ambon, menyoroti dampak tambang terhadap krisis iklim lokal. Pembabatan hutan untuk tambang memperparah kondisi cuaca yang semakin sulit diprediksi. Udin, nelayan dari Desa Kapaleo, mengaku sering menghadapi cuaca buruk yang tiba-tiba berubah saat melaut. “Ini sangat berbahaya, tapi kami terpaksa terus melaut demi mencari nafkah,” katanya.
Anggi Putra Yoga, Manager Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), menegaskan bahwa aktivitas tambang di Pulau Gebe melanggar UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. “Pulau kecil seperti Gebe dan Fau seharusnya dilindungi, bukan dieksploitasi,” tegasnya. FWI mencatat deforestasi besar-besaran di pulau-pulau kecil, dengan 318,5 ribu hektar hutan hilang, termasuk 56 ribu hektar di area konsesi.
Ancaman terhadap Satwa Endemik dan Hak Adat
Pulau Gebe adalah rumah bagi kuskus, satwa endemik marsupialia yang kini semakin sulit ditemui. Hamdala, warga Kampung Sanof Kacepo, mengaku tidak lagi melihat kuskus sejak tambang beroperasi. “Dulu mereka sering terlihat di pepohonan,” kenangnya.
Baca Juga : Pemerintah Siap Terapkan Kebijakan Zero ODOL Demi Keselamatan dan Efisiensi Logistik
Tullamo Sangaji, perwakilan dewan adat Pulau Gebe, mengkritik perusahaan tambang yang mengabaikan hak-hak adat. “Perusahaan hanya melihat sertifikat, bukan hukum adat,” ujarnya. Banyak laporan warga tentang kebun sagu yang digusur tanpa kompensasi. “Tugas kami adalah melindungi hak-hak masyarakat agar tidak diabaikan,” tegas Tullamo.
Mimin Dwi Hartono, Analis Kebijakan Komnas HAM, menegaskan bahwa praktik penggusuran oleh perusahaan melanggar standar internasional tentang bisnis dan hak asasi manusia, termasuk hak masyarakat adat. “Ini harus dihentikan sebelum lebih banyak kerusakan terjadi,” pungkasnya.