
Nusantara1News – Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi menekankan bahwa pengembangan teknologi harus tetap berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan. Konsep Science, Technology, Society (STS) diusulkan sebagai landasan agar semua lapisan masyarakat dapat merasakan manfaat dari inovasi yang berkembang.
Baca Juga : Australia Larang Anak di Bawah 16 Tahun Gunakan Media Sosial
Direktur Jenderal Sains dan Teknologi Kemendiktisaintek, Najib Burhani, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (15/3), menegaskan bahwa ilmuwan memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan bahwa sains dan teknologi yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan di masyarakat tidak menghilangkan sisi kemanusiaan.
“Social trust itu adalah menjadi bahan bakar utama dalam adopsi teknologi, dan karena itu harus perlu menjadikan masyarakat sebagai pemangku utama kepentingan daripada sains dan teknologi itu,” ujar Najib di kutip dari laman Antara news.
Sebagai contoh, Najib mengungkapkan bahwa di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pembangunan infrastruktur seperti jalan raya dan jembatan layang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, di Papua, proyek jalan raya justru mendapat penolakan karena dipandang sebagai alat eksploitasi terhadap warga lokal.
Ia juga menyoroti program Listrik Masuk Desa pada masa Orde Baru, yang dianggap sebagai salah satu keberhasilan dalam adopsi teknologi demi kesejahteraan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi yang efektif sangat diperlukan dalam pengembangan teknologi agar diterima dengan baik oleh masyarakat.
Najib juga membahas tantangan etis dari kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang saat ini berkembang pesat. Menurutnya, jika AI tidak dikendalikan dengan baik, teknologi ini justru dapat membawa dampak negatif bagi masyarakat.
Ia mencontohkan bahwa di beberapa negara, AI digunakan dalam sistem keamanan nasional, tetapi masih mengandung bias terhadap kelompok tertentu. Hal ini berpotensi menghambat akses kelompok tersebut terhadap layanan publik yang seharusnya bersifat inklusif.
Selain AI, Najib juga menyoroti perkembangan teknologi manipulasi genetika yang memungkinkan manusia untuk merekayasa keturunan mereka. Misalnya, kondisi degeneratif atau penyakit menular seperti AIDS dapat dihapus dari genom seseorang agar tidak diwariskan kepada anak-anak mereka.
“Tahun 2022, dari sekitar 3 milyar atau 30 milyar, saya lupa gitu ya, pasangan gen yang membuat manusia itu kemudian bisa disusun secara lengkap,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa meskipun teknologi pengeditan genom belum sampai pada tahap penciptaan manusia secara mandiri, tren ini memunculkan berbagai persoalan etika dan sosial.
Najib membandingkan fenomena rancang bangun manusia ini dengan praktik eugenika yang pernah terjadi di era Nazi Jerman, di mana laki-laki tampan dan perempuan cantik dipilih serta dipertemukan untuk menciptakan ras Arya yang dianggap unggul.
“Di sinilah makanya kemudian berkembang apa yang kita sebut dengan STS, yaitu Science, Technology, Society, yang kemudian memperhatikan tetap meletakkan manusia itu sebagai bagian dari pada perkembangannya,” pungkasnya.
Baca Juga : Kemenkominfo kembangkan tata kelola AI
Menurutnya, perkembangan teknologi tidak boleh lepas dari pertimbangan sosial dan kemanusiaan agar tidak menjadi bumerang di masa depan.