breaking news
Home » Dari Kotoran Jadi Berkah! Begini Cara Warga Sleman Hemat Gas

Dari Kotoran Jadi Berkah! Begini Cara Warga Sleman Hemat Gas

Bagikan :

Api biru menyala di atas kompor yang dihasilkan dari biogas milik Suyono. Foto: Toto Sudiarjo/Mongabay Indonesia

Nusantara1News – Di tengah antrean panjang masyarakat untuk mendapatkan gas elpiji tiga kilogram akibat pembatasan pemerintah, Catur Suharno, Kepala Dusun Banteran, Desa Donoharjo, Sleman, Yogyakarta, justru tetap tenang. Berkat instalasi biogas yang ia miliki, kebutuhan energi di rumahnya tetap terpenuhi.

“Jadi nggak perlu antre,” ujar Catur saat ditemui di rumahnya pada pertengahan Februari seperti yang dikutip dari laman Mongabay.

Baca Juga : Presiden Prabowo Imbau Kepala Daerah Prioritaskan Kepentingan Rakyat

Instalasi biogas hasil kerja sama Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Pertamina itu telah ia bangun setahun lalu. Meskipun hanya berukuran 3×3 meter, biogas ini mampu mencukupi kebutuhan tiga rumah. Catur sengaja membangun instalasi tersebut di dekat kandang sapinya agar lebih praktis dalam mengelola bahan bakunya.

Proses produksi biogas cukup sederhana. Setiap dua hingga tiga hari sekali, Catur memasukkan campuran kotoran empat ekor sapi dan air dengan perbandingan 1:1 ke dalam reaktor biogas (fixed dome). Gas yang dihasilkan kemudian disalurkan ke rumahnya untuk keperluan memasak.

Meskipun masih menggunakan gas elpiji, Catur merasakan banyak keuntungan setelah beralih ke biogas. Jika sebelumnya ia harus membeli gas melon setiap minggu, kini satu tabung bisa bertahan lebih dari dua minggu.

Selain lebih hemat, limbah akhir dari biogas atau bio slurry juga dimanfaatkan sebagai pupuk organik cair dan padat yang lebih berkualitas karena telah melalui proses fermentasi. Hal ini sangat membantu sekitar 60% warga dusun yang berprofesi sebagai petani.

“Kalau dulu kotoran sapi hanya dikeringkan untuk pupuk, sekarang sudah difermentasi, sehingga hasilnya lebih baik,” jelasnya.

Tak hanya mengelola limbah ternak, Catur juga terlibat dalam pembangunan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) komunal sejak 2011. Saat ini, sekitar 60 keluarga di dusunnya menyalurkan limbah domestik ke IPAL dengan retribusi Rp5.000 per bulan untuk perawatan.

Untuk mengatasi bau saat musim kemarau, ia menggunakan tetes tebu atau molase sebagai pengurai alami. “Ini jauh lebih sehat dibandingkan jika limbah langsung dibuang ke sungai, seperti yang banyak dilakukan sebelumnya,” tambahnya.

Suyono, Sosok di Balik Pengembangan Biogas di Yogyakarta

Keberhasilan Catur dalam memanfaatkan biogas tak lepas dari peran Suyono, seorang penggerak biogas asal Desa Minggir, Sendang Agung, Sleman. Suyono, yang kini berusia 50 tahun, dulunya bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia sebelum akhirnya kembali ke Indonesia pada 2014 dan mendalami biogas secara otodidak.

Melihat banyaknya proyek biogas yang gagal di kampungnya, Suyono berinisiatif memperbaiki instalasi-instalasi yang terbengkalai dengan dana pribadinya. Awalnya, banyak orang meragukan usahanya.

“Dulu banyak yang menertawakan saya, katanya lebih mudah beli gas elpiji di warung daripada repot-repot membuat biogas,” kenangnya.

Namun, usahanya membuahkan hasil. Pada 2015, ia berhasil membangun instalasi biogas berkapasitas delapan meter kubik di rumahnya, yang mampu menghasilkan 1,8 kilogram gas per hari. Sejak saat itu, ia tak pernah lagi membeli gas elpiji dan bahkan berbagi gas dengan dua tetangganya secara gratis.

Biogas yang ia produksi berasal dari kotoran kambing dan burung puyuh yang ia ternak di sekitar rumah. Limbah akhir biogas tersebut juga ia manfaatkan untuk memupuk sayuran dan buah-buahan di pekarangannya.

“Kalau pakai gas elpiji tiga kilogram, dulu seminggu sudah habis. Sekarang, biogas saya bisa digunakan hingga delapan jam sebelum kehabisan,” ujarnya.

Keberhasilan ini membuat Suyono semakin dikenal. Pada 2018, ia mulai menerima banyak permintaan pemasangan biogas, termasuk dari pondok pesantren dan komunitas petani. Ia bahkan pernah memasang sekitar 500 reaktor biogas di Nusa Tenggara Timur.

Rumahnya kini sering dikunjungi oleh orang-orang dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri seperti Australia dan Jerman, untuk belajar tentang biogas.

“Gas elpiji berasal dari sumber daya fosil yang akan semakin menipis. Sementara biogas, selama ada kehidupan, bahan bakunya akan selalu tersedia,” tegasnya.

Potensi Biogas di Perkotaan

Banyak orang menganggap biogas hanya bisa diterapkan di pedesaan dengan lahan luas dan kotoran sapi sebagai bahan baku utama. Namun, Suyono membantah anggapan tersebut. Menurutnya, berbagai jenis kotoran hewan seperti kambing, babi, ayam, dan burung puyuh dapat digunakan. Bahkan, limbah dapur seperti sisa makanan juga bisa menjadi bahan baku biogas.

Di wilayah perkotaan, biogas dapat dihasilkan dari kotoran manusia di septic tank atau sisa makanan organik, asalkan tidak tercampur deterjen atau cairan pembersih yang bisa membunuh bakteri pengurai.

Tantangan utama di perkotaan adalah anggapan bahwa biogas dari limbah manusia akan berbau. Padahal, menurut Suyono, gas yang dihasilkan justru tidak berbau dan memiliki nyala api yang lebih besar serta berwarna biru, layaknya gas elpiji berkualitas tinggi.

“Kalau ingin membangun biogas di perkotaan, sosialisasi harus dilakukan dengan baik agar masyarakat paham manfaatnya,” ujarnya.

Pondok pesantren dan pasar merupakan lokasi ideal untuk penerapan biogas berbasis limbah organik. Namun, keberhasilannya tetap bergantung pada kesiapan tenaga pengelola yang memahami cara kerja sistem biogas.

Sebagai pengawas reaktor biogas dari berbagai program pemerintah, Suyono sering menemukan proyek biogas yang gagal karena kurangnya pemahaman kontraktor dalam membangun sistem yang efisien.

“Saya banyak menemukan proyek biogas yang akhirnya mangkrak karena anggarannya dipotong atau pengerjaannya asal-asalan,” katanya.

Baca Juga : Kemenkop Perkuat Ekosistem Petani Tebu di Jatim untuk Dukung Ketahanan Gula

Di setiap kesempatan, Suyono selalu menekankan pentingnya kemandirian dalam pemanfaatan sumber daya alam. Ia mendorong masyarakat untuk tidak selalu bergantung pada pemerintah, tetapi mulai berinvestasi dalam solusi energi jangka panjang yang lebih berkelanjutan.

“Sebetulnya kita mampu, apalagi yang tinggal di pedesaan. Kalau semua menunggu bantuan pemerintah, kita akan sulit maju. Memang di awal terasa berat, tapi ini adalah investasi masa depan,” pungkasnya.

Editor : Nusantara1News


Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *