
Nusantara1News – Persaingan di orbit bumi semakin ketat bagi Elon Musk. Senin (24/2) di kutip dari Reuters. Jaringan satelit Starlink, yang dimiliki oleh miliarder tersebut, kini menghadapi tekanan besar dalam mempertahankan posisinya sebagai pemimpin pasar internet satelit berkecepatan tinggi. Tantangan ini datang dari berbagai pihak, termasuk perusahaan yang didukung pemerintah China serta proyek-proyek lain yang didanai oleh Amazon.com (AMZN.O), seperti yang diungkapkan oleh pendirinya, Jeff Bezos.
Baca Juga : PM Anwar dan PM Inggris Bahas Kemitraan Ekonomi Strategis Baru
SpaceSail, perusahaan asal Shanghai, pada November lalu telah menandatangani kesepakatan untuk memperluas layanannya ke Brasil dan mengaku sedang menjajaki kerja sama dengan lebih dari 30 negara. Dua bulan setelahnya, perusahaan tersebut resmi memulai operasinya di Kazakhstan, seperti dilaporkan oleh Kedutaan Besar Kazakhstan di Beijing.
Secara terpisah, pemerintah Brasil dikabarkan sedang menjalin pembicaraan dengan Project Kuiper milik Jeff Bezos dan Telesat asal Kanada (TSAT.TO), menurut seorang pejabat Brasil yang terlibat dalam negosiasi tersebut. Pejabat itu memilih untuk tidak disebutkan namanya karena pembicaraan masih berlangsung. Ini merupakan kali pertama kabar mengenai diskusi tersebut diungkap ke publik.
Sejak 2020, Starlink telah meluncurkan lebih banyak satelit ke orbit rendah Bumi (LEO) yang berada di ketinggian kurang dari 2.000 km dibandingkan dengan total satelit yang diluncurkan oleh semua pesaingnya. Satelit-satelit yang beroperasi di ketinggian rendah ini mampu mengirimkan data dengan efisiensi tinggi, menyediakan akses internet berkecepatan tinggi bagi masyarakat di daerah terpencil, pelaut di tengah laut, serta pasukan militer di medan perang.
Dominasi Elon Musk di ruang angkasa dianggap sebagai ancaman serius oleh pemerintah China. Menyikapi hal ini, Beijing mengalokasikan dana besar-besaran untuk mendukung perusahaan-perusahaan pesaing Starlink serta mendanai penelitian militer guna mengembangkan teknologi yang mampu melacak konstelasi satelit Musk. Hal ini terungkap melalui dokumen perusahaan dan publikasi akademis China, yang detailnya belum pernah diungkap sebelumnya.
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh ahli astrofisika Jonathan McDowell dan dianalisis oleh konsultan teknologi Analysys Mason, China mencatatkan rekor dengan meluncurkan 263 satelit ke orbit rendah Bumi (LEO) pada tahun lalu.
Kehadiran pesaing baru bagi Starlink disambut positif oleh pemerintah Brasil, yang berharap dapat menyediakan akses internet berkecepatan tinggi bagi masyarakat di wilayah terpencil. Meski demikian, Brasil sebelumnya sempat berselisih dengan Musk terkait isu perdagangan dan politik.
SpaceSail, ketika dimintai tanggapan oleh Reuters mengenai rencana ekspansinya, memilih untuk tidak memberikan komentar. Sebuah media cetak yang dikelola oleh regulator telekomunikasi China pernah memuji perusahaan ini sebagai entitas yang “mampu melampaui batas negara, menembus kedaulasan, dan mencakup seluruh dunia tanpa syarat… sebuah kemampuan strategis yang wajib dikuasai oleh negara kita.”
Baik Kuiper, Telesat, Starlink, maupun Kementerian Komunikasi Brasil tidak memberikan respons atas permintaan komentar dari Reuters.
Hanya sedikit perusahaan internasional yang memiliki ambisi sebesar SpaceSail, yang berada di bawah kendali pemerintah kota Shanghai. Perusahaan ini telah mengumumkan rencana untuk meluncurkan 648 satelit ke orbit rendah Bumi (LEO) tahun ini dan menargetkan hingga 15.000 satelit pada 2030. Sementara itu, menurut data Jonathan McDowell, Starlink saat ini mengoperasikan sekitar 7.000 satelit dan menargetkan jumlah 42.000 satelit pada akhir dekade ini.
China semakin memperkuat ambisinya di sektor broadband satelit dengan peluncuran SpaceSail, yang nantinya akan membentuk konstelasi Qianfan atau dikenal sebagai “Seribu Layar.” Inisiatif ini merupakan langkah pertama negara tersebut dalam memperluas kehadiran internasionalnya di bidang komunikasi satelit. Selain Qianfan, tiga konstelasi satelit lainnya juga tengah dikembangkan. Pemerintah Beijing berencana untuk mengorbitkan hingga 43.000 satelit LEO dalam beberapa dekade ke depan dan berinvestasi dalam teknologi roket yang mampu membawa sejumlah besar satelit dalam sekali peluncuran.
Menurut Chaitanya Giri, pakar teknologi luar angkasa dari Observer Research Foundation India, strategi utama China adalah mengamankan sebanyak mungkin slot orbit. Langkah agresif ini memicu kekhawatiran di kalangan pembuat kebijakan Barat, yang menilai ekspansi tersebut berpotensi memperluas pengaruh Beijing dalam hal sensor internet global.
Sebuah laporan dari lembaga think tank Dewan Kebijakan Luar Negeri Amerika pada Februari lalu menyoroti perlunya Washington meningkatkan kerja sama dengan negara-negara di kawasan Selatan guna menghadapi dominasi digital China yang semakin kuat. Selain itu, Qianfan juga dianggap sebagai elemen kunci dalam aspek luar angkasa dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI). Program infrastruktur global senilai $1 triliun yang menjadi kebijakan utama Presiden Xi Jinping ini sering dikritik sebagai alat untuk memperluas pengaruh geopolitik China.
Kementerian Perdagangan dan regulator telekomunikasi Tiongkok belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar terkait. Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Tiongkok, dalam pernyataannya kepada Reuters, mengungkapkan bahwa meskipun mereka tidak memiliki informasi spesifik mengenai ekspansi SpaceSail dan satelit LEO Tiongkok ke luar negeri, Beijing tetap berkomitmen untuk menjalin kerja sama luar angkasa dengan negara lain demi kepentingan masyarakat global.
Pihak SpaceSail menyatakan bahwa misi utama mereka adalah menyediakan akses internet yang stabil bagi lebih banyak orang, terutama di wilayah terpencil serta dalam situasi pemulihan pascabencana dan keadaan darurat.
Perebutan Dominasi di Luar Angkasa
Pesatnya ekspansi jaringan Starlink dan keterlibatannya dalam konflik di Ukraina telah menarik perhatian para peneliti militer di Universitas Teknologi Pertahanan Nasional Tiongkok. Hal ini mendorong pemerintah Tiongkok untuk mengalokasikan dana besar dalam pengembangan jaringan satelit yang dapat menjadi pesaing utama Starlink.
Salah satu perusahaan yang mendapat dukungan adalah Hongqing Technology, yang didirikan pada 2017 dan saat ini tengah mengembangkan konstelasi 10.000 satelit. Pada bulan ini, perusahaan tersebut berhasil memperoleh pendanaan sebesar 340 juta yuan (sekitar Rp4,5 triliun) dari berbagai investor yang sebagian besar memiliki keterkaitan dengan pemerintah.
Tahun lalu, SpaceSail juga mengamankan pendanaan sebesar 6,7 miliar yuan ($930 juta) dalam putaran investasi yang dipimpin oleh dana milik negara. Dana tersebut difokuskan untuk memperkuat sektor manufaktur Tiongkok guna meningkatkan kapabilitas produksi teknologi satelitnya.
Para peneliti di Tiongkok, termasuk mereka yang memiliki keterkaitan dengan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), semakin memfokuskan perhatian pada sektor ini. Berdasarkan data dari AcclaimIP milik Anaqua, Tiongkok mencatat rekor penerbitan 2.449 paten terkait teknologi satelit LEO pada tahun 2023, mengalami lonjakan signifikan dibandingkan dengan 162 paten yang diterbitkan pada 2019.
Banyak dari paten tersebut menyoroti pengembangan jaringan satelit berbiaya rendah serta sistem komunikasi dengan latensi rendah. Hal ini mencerminkan upaya agresif Tiongkok untuk mengejar ketertinggalan dan mempersempit kesenjangan teknologi di bidang ini.
Persaingan Ketat di Ruang Angkasa
“Industri luar angkasa berkembang dengan cepat dan penuh inovasi,” kata Antoine Grenier, kepala global sektor luar angkasa di perusahaan konsultan Analysys Mason. Ia menambahkan bahwa pelaku awal di bidang ini memiliki kebebasan relatif untuk bereksperimen, yang memungkinkan mereka mengamankan posisi strategis sebelum regulasi semakin ketat, seperti yang terjadi di negara-negara Barat.
Beberapa penelitian dari Tiongkok tampaknya secara khusus menargetkan Starlink. Salah satu aplikasi paten yang berafiliasi dengan PLA menyebut sistem satelit Amerika Serikat tersebut sebagai elemen penting dalam pengintaian dan komunikasi militer, sekaligus memperingatkan bahwa keberadaannya berpotensi menjadi ancaman bagi jaringan, data, serta keamanan militer
Baca Juga : PM Anwar dan PM Inggris Bahas Kemitraan Ekonomi Strategis Baru
Selain itu, Beijing juga sedang mengembangkan teknologi untuk melacak dan memantau konstelasi satelit Starlink. Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan pada Januari di jurnal teknik Tiongkok, para ilmuwan dari dua institusi yang terafiliasi dengan PLA mengungkapkan bahwa mereka telah menciptakan sistem dan algoritme pemantauan untuk mengawasi megakonstelasi seperti Starlink. Desain sistem ini terinspirasi dari cara paus bungkuk menangkap mangsanya, yakni dengan mengitari target dan menciptakan pusaran gelembung untuk mengurungnya.
Para peneliti menekankan bahwa seiring dengan meningkatnya tren militerisasi di luar angkasa, pengembangan teknologi untuk memantau dan melacak megakonstelasi satelit menjadi semakin krusial.